Belajar Mendalam menurut Paulo Freire
Siapa Paulo Freire? Ia merupakan seorang pendidik berkebangsaan Brazil. Ia mengembangkan filsafat pendidikan dan mempraktekkannya dalam mendidik masyarakat Amerika Latin yang buta huruf dan miskin. Pada tahun 1964, ia dipenjara karena pandangan pendidikannya dianggap mengancam pemerintah negaranya. Setelah menjalani hukuman 70 hari penjara, Freire dibebaskan dan diperintahkan meninggalkan negaranya. Ia pindah ke Chili dan bekerja di UNESCO. Atas kiprahnya dalam eksperimen pembaruan pendidikan, ia menjadi konsultan Fakultas Pendidikan di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Pemikiran Freire tentang pendidikan memengaruhi banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia. Pada era 1980an, banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang menjalankan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan mengadopsi pemikiran Freire dalam pendidikan. Pada tahun 1985, buku Freire yang paling terkenal berjudul Pedagogy of Oppressed (1972) diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas.
Dalam pemikiran pendidikan yang dikemukakannya, Paulo Freire tidak menyebut spesifik mengenai belajar mendalam (deep learning). Hanya saja, pandangan filosofis dalam pendidikannya dapat menjadi pondasi bagi pendidik dalam menjalankan proses pendidikan melalui pendekatan belajar mendalam. Berikut ini uraian ringkas pemikirannya.
- Guru dan siswa adalah subjek pendidikan
Freire memandang guru dan siswa sama-sama sebagai subjek dalam pendidikan. Karena siswa berkepentingan dalam memahami realitas dunia yang dipelajarinya, siswa tidak ditempatkan sebagai objek pendidikan tetapi sebagai subjek. Penempatkan guru dan siswa sebagai subjek membuat proses pendidikan menurut Freire, yakni melalui refleksi dan tindakan bersama, menemukan kedalamannya, yakni pengetahuan baru.
A revolutionary leadership must accordingly practice co-intentional education. Teachers and students (leadership and people), cointent on reality, are both Subjects, not only in the task of unveiling that reality, and thereby coming to know it critically, but in the task of re-creating that knowledge. As they attain this knowledge of reality through common reflection and action, they discover themselves as its permanent re-creators.
Kepemimpinan revolusioner harus mempraktikkan pendidikan ko-intensional. Guru dan siswa (kepemimpinan dan rakyat), yang berkepentingan pada realitas, keduanya adalah Subjek, tidak hanya dalam tugas mengungkap realitas itu, dan dengan demikian memahaminya secara kritis, tetapi juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan itu. Ketika mereka memperoleh pengetahuan tentang realitas ini melalui refleksi dan tindakan bersama, mereka menemukan diri mereka sebagai pencipta-kembali yang permanen.
- Kritik terhadap pendidikan gaya bercerita atau pendidikan “gaya bank”
Freire menjelaskan adanya penyakit dalam pendidikan yang berwatak naratif, di mana guru berperan sebagai subjek yang bercerita dan siswa sebagai objek yang mendengarkan. Hal ini membuat proses belajar yang dijalani menjadi kaku dan tidak hidup.
A careful analysis of the teacher-student relationship at any level, inside or outside the school, reveals its fundamentally narrative character. This relationship involves a narrating Subject (the teacher) and patient, listening objects (the students). The contents, whether values or empirical dimensions of reality, tend in the process of being narrated to become lifeless and petrified. Education is suffering from narration sickness.
Analisis yang cermat terhadap hubungan guru-murid di tingkat mana pun, di dalam atau di luar sekolah, mengungkap karakter berceritanya yang mendasar. Hubungan ini melibatkan Subjek yang bercerita (guru) dan objek yang sabar dan mendengarkan (murid). Isinya, baik nilai atau dimensi empiris realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup. Pendidikan menderita penyakit bercerita ini.
Akibat dari pendidikan gaya bercerita ini, menurut Freire, siswa ditempatkan sebagai objek berupa bejana atau wadah kosong yang akan diisi oleh guru. Semakin guru bisa mengisi bejana semakin baik; semakin siswa bisa menerima isinya semakin baik. Dengan demikian pendidikan seperti kegiatan menabung. Ini oleh Freire disebut dengan pendidikan gaya bank (banking concept of education).
Education thus becomes an act of depositing, in which the students are the depositories and the teacher is the depositor. Instead of communicating, the teacher issues communiques and makes deposits which the students patiently receive, memorize, and repeat. This is the “banking” concept of education, in which the scope of action allowed to the students extends only as far as receiving, filing, and storing the deposits.
Pendidikan dengan demikian menjadi sebuah tindakan menabung, di mana siswa adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Alih-alih berkomunikasi, guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal, dan diulang dengan patuh oleh siswa. Ini adalah konsep pendidikan “gaya bank”, di mana ruang lingkup tindakan yang diizinkan bagi siswa hanya mencakup sejauh menerima, mencatat, dan menyimpan.
- Ciri-ciri pendidikan “gaya bank” yang harus dihindari pendidik
Freire mengemukakan sepuluh ciri pendidikan gaya bank yang harus dihindari oleh pendidik karena menempatkan siswa sebagai objek dan dapat melemahkan kesadaran kritis siswa. Kesepuluh ciri tersebut adalahsebagai berikut:
(a) the teacher teaches and the students are taught;
(b) the teacher knows everything and the students know nothing;
(c) the teacher thinks and the students are thought about;
(d) the teacher talks and the students listen—meekly;
(e) the teacher disciplines and the students are disciplined;
(f) the teacher chooses and enforces his choice, and the students comply;
(g) the teacher acts and the students have the illusion of acting through the action of the teacher;
(h) the teacher chooses the program content, and the students (who were not consulted) adapt to it;
(i) the teacher confuses the authority of knowledge with his or her own professional authority, which she and he sets in opposition to the freedom of the students;
(j) the teacher is the Subject of the learning process, while the pupils are mere objects.
(a) guru mengajar dan siswa diajar;
(b) guru mengetahui segala sesuatu dan siswa tidak mengetahui apa pun;
(c) guru berpikir dan siswa dipikirkan;
(d) guru berbicara dan siswa mendengarkan—dengan lemah lembut;
(e) guru mendisiplinkan dan siswa didisiplinkan;
(f) guru memilih dan memaksakan pilihannya, dan siswa mematuhinya;
(g) guru bertindak dan siswa memiliki ilusi bertindak melalui tindakan guru;
(h) guru memilih konten program, dan siswa (yang tidak diajak konsultasi) menyesuaikan diri dengannya;
(i) guru mencampuradukkan otoritas pengetahuan dengan otoritas profesionalnya sendiri, yang ia buat bertentangan dengan kebebasan siswa;
(j) guru adalah Subjek dari proses pembelajaran, sementara siswa hanyalah objek belaka.
- Mengganti pendidikan “gaya bank” dengan pendidikan “hadap-masalah”
Freire menawarkan gaya pendidikan baru sebagai pengganti gaya bank yang disebut dengan pendidikan “hadap-masalah” (“problem-posing” education). Pendidikan hadap-masalah menghendaki siswa sebagai subjek yang intens memahami realitas dunia.
Those truly committed to liberation must reject the banking concept in its entirety, adopting instead a concept of women and men as conscious beings, and consciousness as consciousness intent upon the world. They must abandon the educational goal of deposit-making and replace it with the posing of the problems of human beings in their relations with the world. “Problem-posing” education, responding to the essence of consciousness—intentionality—rejects communiques and embodies communication. It epitomizes the special characteristic of consciousness: being conscious of, not only as intent on objects but as turned in upon itself …
Mereka yang benar-benar berkomitmen pada pembebasan harus menolak konsep pendidikan gaya bank secara keseluruhan, dan sebaliknya mengadopsi konsep manusia sebagai makhluk yang sadar, dan kesadaran sebagai kesadaran yang ditujukan pada dunia. Mereka harus meninggalkan tujuan pendidikan sebagai usaha tabungan dan menggantinya dengan mengajukan masalah-masalah manusia dalam hubungan mereka dengan dunia. Pendidikan “hadap-masalah”, yang menanggapi hakikat kesadaran—intensionalitas—menolak pernyataan-pernyataan dan mewujudkan komunikasi. Pendidikan ini melambangkan karakteristik khusus kesadaran: menyadari, tidak hanya sebagai yang ditujukan pada objek tetapi juga diarahkan pada dirinya sendiri…
- Pentingnya komunikasi atau dialog antara guru dan siswa
Langkah mendasar dalam membangun pendidikan hadap-masalah adalah membangun relasi antara guru dan siswa melalui komunikasi. Melalui proses komunikasi antara guru dan siswa inilah proses belajar dapat mengantarkan kepada pemahaman terhadap realitas yang penuh makna.
Yet only through communication can human life hold meaning. The teachers thinking is authenticated only by the authenticity of the students thinking. The teacher cannot think for her students, nor can she impose her thought on them. Authentic thinking, thinking that is concerned about reality, does not take place in ivory tower isolation, but only in communication. If it is true that thought has meaning only when generated by action upon the world, the subordination of students to teachers becomes impossible.
Hanya melalui komunikasi kehidupan manusia dapat bermakna. Pemikiran guru hanya dapat dibuktikan keautentikannya oleh keautentikan pemikiran siswa. Guru tidak dapat berpikir untuk siswanya, dan tidak dapat memaksakan pemikirannya kepada mereka. Pemikiran yang autentik, pemikiran yang peduli terhadap realitas, tidak dilakukan jauh di puncak menara gading, tetapi hanya dalam komunikasi. Jika benar bahwa pemikiran hanya bermakna ketika dihasilkan oleh tindakan terhadap dunia, maka subordinasi siswa terhadap guru mustahil membuat makna itu.
Freire menjelaskan bahwa komunikasi antara guru dan siswa yang bermakna dilakukan melalui dialog. Dengan dialog ini guru dan siswa dapat saling belajar. Lewat dialog, guru tidak hanya mengajar siswa tapi juga diajar oleh siswa; siswa tidak hanya diajar oleh guru tapi juga mengajar guru.
Through dialogue, the teacher-of-the-students and the students-of-the-teacher cease to exist and a new term emerges: teacher-student with students-teachers. The teacher is no longer merely the-one-who-teaches, but one who is himself taught in dialogue with the students, who in turn while being taught also teach. They become jointly responsible for a process in which all grow. In this process, arguments based on “authority” are no longer valid; in order to function, authority must be on the side of freedom, not against it. Here, no one teaches another, nor is anyone self-taught. People teach each other, mediated by the world, by the cognizable objects which in banking education are “owned” by the teacher.
Melalui dialog, guru bagi siswa dan siswa bagi guru tidak ada lagi dan muncul istilah baru: guru-siswa dengan siswa-guru. Guru tidak lagi hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi pengajar dirinya melalui dialog dengan siswa, yang pada gilirannya, saat diajar mereka juga mengajar. Mereka menjadi bersama-sama bertanggung jawab atas proses di mana semua orang tumbuh. Dalam proses ini, argumen yang didasarkan pada “otoritas” tidak lagi berlaku; agar dapat berfungsi, otoritas harus berada di pihak kebebasan, bukan menentangnya. Di sini, tidak seorang pun mengajar orang lain, juga tidak seorang pun belajar sendiri. Orang-orang saling mengajar, dimediasi oleh dunia, oleh objek-objek yang dapat dikenali yang dalam pendidikan gaya bank “dimiliki” oleh guru semata.