Prokrastinasi
Apakah prokrastinasi sama dengan menunda, sehingga semua aktivitas menunda disebut sebagai prokrastinasi? Atau prokrastinasi berbeda dengan menunda, sehingga tidak semua aktivitas menunda disebut prokrastinasi? Untuk menjawabnya, kita perhatikan tiga skenario berikut ini:
Skenario 1. Anda telah meminta informasi penting untuk laporan yang sedang Anda tulis kepada rekan kerja Anda, Chris. Chris mengatakan akan mengirimkannya kepada Anda pada hari Kamis. Sekarang hari Jumat, dan Chris belum membalas dengan informasi yang Anda butuhkan atau memberi Anda informasi terbaru tentang kapan Anda bisa mendapatkannya. Anda harus menyelesaikan laporan Anda pada hari Senin dan merasa tertekan serta kesal dengan Chris. Apakah Anda melakukan prokrastinasi?
Skenario 2. Anda mencoba menemukan solusi kreatif untuk masalah pekerjaan yang diminta atasan Anda untuk Anda tangani. Anda memiliki tenggat waktu yang ketat dan telah bekerja keras selama berhari-hari untuk mencoba menemukan pendekatan baru yang akan berhasil dan benar-benar membuat atasan Anda terkesan. Namun, ide-idenya kering, dan Anda merasa waktu hampir habis. Anda memutuskan untuk mengisi ulang baterai mental Anda dengan beristirahat selama 1 jam dan melakukan sesuatu yang Anda sukai untuk membangkitkan kembali kreativitas Anda. Apakah Anda melakukan prokrastinasi?
Skenario 3. Anda telah mengajukan diri untuk menyusun buletin untuk pusat komunitas lokal Anda. Ketua komite komunikasi mengirimkan berkas berisi semua pembaruan yang akan disertakan dalam edisi bulan ini. Ia memberi tahu Anda bahwa buletin tersebut perlu dibuat menggunakan perangkat lunak khusus agar terlihat profesional dan mengirimkan tautan tutorial daring untuk membantu Anda memulai menggunakan perangkat lunak tersebut. Anda belum pernah menggunakan perangkat lunak ini sebelumnya dan merasa khawatir apakah Anda dapat membuatnya berfungsi. Seminggu berlalu, dan Anda masih belum mulai menulis buletin, yang akan terbit beberapa hari lagi. Apakah Anda melakukan prokrastinasi?
Untuk menentukan mana dari tiga skenario di atas yang termasuk menunda dan mana yang termasuk prokrastinasi, kita merujuk pada salah seorang imuwan yang meneliti tentang prokrastinasi bernama Fuschia Sirois. Ia merupakan seorang profesor di departemen psikologi di Universitas Durham, Inggris. Selama lebih dari 20 tahun, ia telah meneliti penyebab dan konsekuensi penundaan serta bagaimana emosi berperan dalam menjelaskan mengapa orang melakukan prokrastinasi. Terkait topik penelitiannya ini ia menulis buku berjudul Procrastination: What It Is, Why It’s a Problem, and What You Can Do About It yang diterbitkan oleh APA Books pada 2022. Tiga skenario di atas ada dalam bukunya tersebut yang digunakan untuk membedakan penundaan dan prokrastinasi.
Dalam buku tersebut Sirois menulis pengertian prokrastinasi sebagai berikut:
Procrastination is a common self-regulation problem involving the unnecessary and voluntary delay in the start or completion of important intended tasks despite the recognition that this delay may have negative consequences.
Prokrastinasi merupakan masalah pengaturan diri umum yang melibatkan penundaan yang tidak perlu dan disengaja dalam memulai atau menyelesaikan tugas penting yang dimaksudkan meskipun menyadari bahwa penundaan ini dapat berakibat negatif.
Merujuk pada pengertian ini, Sirois menganalisis tiga skenario di atas sebagai berikut:
In Scenario 1, your coworker Chris is delaying getting back to you with key information you need to write your report, which is preventing you from finishing your report. Because the delay is outside of your control, it isnʼt voluntary. The delay is also necessary because the missing information is critical to the completion of your report. So no, you are not procrastinating.
Dalam Skenario 1, rekan kerja Anda, Chris, menunda menghubungi Anda dengan informasi penting yang Anda butuhkan untuk menulis laporan, sehingga Anda tidak dapat menyelesaikannya. Karena penundaan ini di luar kendali Anda, hal ini bukanlah sesuatu yang disengaja. Penundaan ini juga diperlukan karena informasi yang hilang sangat penting untuk penyelesaian laporan Anda. Jadi, Anda tidak melakukan prokrastinasi.
Scenario 2 involves pausing (delaying?) the pursuit of a solution for your boss. The timelines are tight, but you choose to delay working on this by 1 hour, so the delay is voluntary. Is the delay necessary, or perhaps even wise? Most likely it is both, given that you are no longer working efficiently, and your creative thinking isnʼt at its best. Taking the break, which is only an hour, has purpose. You are not trying to avoid working on the solution for your boss; instead, you want to replenish your mental resources so that you can complete the task to a good standard. In short, you are lacking something you need to finish the work (a fresh perspective), so you choose to delay and do something that will help you get what you need to complete the task. So, in this scenario there is no evidence of procrastination, only sagacious delay.
Skenario 2 melibatkan jeda (menunda?) pencarian solusi untuk atasan Anda. Tenggat waktunya ketat, tetapi Anda memilih untuk menunda pengerjaannya selama 1 jam, sehingga penundaan tersebut bersifat sukarela. Apakah penundaan itu perlu, atau mungkin bijaksana? Kemungkinan besar keduanya, mengingat Anda tidak lagi bekerja secara efisien, dan pemikiran kreatif Anda tidak dalam kondisi terbaiknya. Mengambil jeda, yang hanya satu jam, memiliki tujuan. Anda tidak mencoba menghindari mengerjakan solusi untuk atasan Anda; sebaliknya, Anda ingin mengisi kembali sumber daya mental Anda agar dapat menyelesaikan tugas dengan standar yang baik. Singkatnya, Anda kekurangan sesuatu yang Anda butuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan (perspektif baru), sehingga Anda memilih untuk menunda dan melakukan sesuatu yang akan membantu Anda mendapatkan apa yang Anda butuhkan untuk menyelesaikan tugas. Jadi, dalam skenario ini tidak ada bukti prokrastinasi, hanya penundaan yang bijaksana.
In contrast to the first two scenarios, the delay in Scenario 3 fits our definition of procrastination quite well. There is a clear intent to complete the task—you volunteered to help with the newsletter, after all. The delay described is unnecessary and voluntary. Even though you are unfamiliar with the software needed to create the newsletter, you have been given the resources necessary to learn and use it. Thus, you canʼt claim that you are delaying because you were missing critical information. It appears that the main reason for avoiding starting the newsletter is a feeling of nervousness about using a software you are unfamiliar with, despite being given tutorials to learn how to use it. Sounds irrational, right? That is because it is indeed irrational and because there are unpleasant emotions involved that are driving the delay.
Berbeda dengan dua skenario pertama, penundaan dalam Skenario 3 cukup sesuai dengan definisi kita tentang prokrastinasi. Ada niat yang jelas untuk menyelesaikan tugas ini—bagaimanapun juga, Anda telah mengajukan diri untuk membantu pembuatan buletin. Penundaan yang dijelaskan tidak perlu dan bersifat sukarela. Meskipun Anda tidak familiar dengan perangkat lunak yang dibutuhkan untuk membuat buletin, Anda telah diberikan sumber daya yang diperlukan untuk mempelajari dan menggunakannya. Jadi, Anda tidak bisa berdalih bahwa Anda menunda karena kehilangan informasi penting. Tampaknya alasan utama untuk tidak memulai buletin adalah rasa gugup menggunakan perangkat lunak yang tidak Anda kenal, meskipun telah diberikan tutorial untuk mempelajari cara menggunakannya. Kedengarannya tidak rasional, bukan? Itu karena memang tidak rasional dan karena ada emosi yang tidak menyenangkan yang mendorong penundaan tersebut.
Jadi tidak semua penundaan adalah prokrastinasi. Penundaan disebut prokrastinasi kalau penundaan tersebut dilakukan secara sengaja (voluntary) dan tidak perlu (unnecessary).
Dalam bukunya tersebut, Sirois menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian mahasiswa banyak melakukan prokrastinasi. Sebanyak 80% hingga 95% mahasiswa pernah melakukan prokrastinasi di beberapa titik selama masa akademik mereka. Misalnya, menunda belajar untuk ujian, menunda mengerjakan pekerjaan rumah, atau menyelesaikan tugas dan makalah di menit-menit terakhir.
Bagaimana prokrastinasi diukur? Salah satu alat ukur prokrastinasi dikembangkan oleh C. Lay tahun 1986 yang dilaporkan dalam artikel berjudul At last, my research article on procrastination. Skala tersebut terdiri atas 20 item dan item-itemnya dapat dibaca di sini. Pada 2019, Sirois mengembangkan versi singkat skala tersebut yang terdiri dari 9 item dan dilaporkan dalam artikel berjudul Development and validation of the General Procrastination Scale (GPS-9): A short and reliable measure of trait procrastination. Kita bisa mengecek seberapa prokrastinasi diri kita dengan mengisi kuesioner GPS-9 dan menghitung sendiri skor yang kita peroleh dalam buku Sirois, Procrastination: What It Is, Why It’s a Problem, and What You Can Do About It.

Peneliti lain mengembangkan alat ukur prokrastinasi dalam bidang akademik, misalnya dikonstruksi oleh J. McCloskey pada tahun 2011 yang disebut Academic Procrastination Scale (APS) yang terdiri dari 25 item. Pengembangan dan item-item alat ukur tersebut dapat dibaca dalam tesisnya berjudul Finally, my thesis on academic procrastination. Sementara itu, R. D. Yockey pada tahun 2016 mengembangkan versi singkat APS yang terdiri dari 5 item yang disebut dengan Academic Procrastination Scale-Short Form (APS-S) dan dilaporkan dalam artikelnya berjudul Validation of the short form of the academic procrastination scale.
Pada 2023, alat ukur APS-S versi Indonesia diadaptasi oleh A. F. Rasyid dan koleganya dalam artikel mereka berjudul Indonesian Adaptation of Academic Procrastination-Short Form (APS-S): Validity and Reliability