Rubah dan Gagak: Pelajaran Mengenai Mengapa Orang Cerdas Bisa Bertindak Bodoh

Suatu pagi yang cerah, ketika rubah sedang menyusuri hutan mencari makanan dengan hidungnya yang tajam, ia melihat seekor gagak bertengger di dahan pohon di atasnya.

Ini bukanlah gagak pertama yang pernah dilihat rubah. Yang menarik perhatiannya kali ini dan membuatnya berhenti sejenak adalah gagak yang beruntung itu sedang memegang sepotong keju di paruhnya.

“Tidak perlu mencari lebih jauh,” pikir rubah yang licik. “Ini makanan lezat untuk sarapanku.”

Ia berlari kecil ke kaki pohon tempat gagak duduk, dan sambil mendongak kagum, ia berseru, “Selamat pagi, makhluk yang cantik!”

Gagak itu, dengan kepala miring ke satu sisi, menatap rubah dengan curiga. Namun ia tetap menutup paruhnya erat-erat di atas keju dan tidak membalas sapaannya.

“Sungguh makhluk yang menawan!” kata rubah. “Betapa berkilau bulunya! Betapa indah bentuknya dan betapa indah sayapnya! Burung seindah itu seharusnya memiliki suara yang sangat merdu, karena segala sesuatu tentangnya begitu sempurna. Jika ia bisa menyanyikan satu lagu saja, aku tahu aku akan memanggilnya Ratu Burung.”

Mendengarkan kata-kata pujian ini, gagak melupakan semua kecurigaannya, dan juga sarapannya. Ia sangat ingin disebut Ratu Burung.

Maka ia membuka paruhnya lebar-lebar untuk mengeluarkan suara paling keras, dan keju itu jatuh tepat ke mulut rubah yang terbuka.

“Terima kasih,” kata rubah dengan manis, sambil berjalan pergi.

“Meskipun suaranya serak, kau memang punya suara. Tapi di mana akal sehatmu?”

Gambar dari Milo Winter dalam Aesop’s Favorite Fables

Paul Frampton dikenal sebagai ilmuwan fisika yang bereputasi dalam mengkaji teori partikel dan kosmologi. Pada 2011, ia menjalin hubungan romantis secara online dengan seorang wanita bintang model dewasa. Suatu ketika wanita tersebut mengundang Frampton dalam sesi pemotretan di Bolivia. Saat Frampton sampai Bolivia, wanita tersebut mengabarkan kalau dirinya harus segera ke Argentina namun tasnya tertinggal dan meminta Frampton membantu membawakan tas tersebut ke Argentina. Saat Frampton sampai di Argentina, ia tidak mendapati ada tanda-tanda wanita tersebut di sana. Karena putus asa, ia kembali ke Amerika Serikat dengan membawa tas wanita tersebut. Setelah check in di bandara, sebuah pengumuman dari pengeras suara meminta ia menemui staf bandara. Ia didakwa telah menyelundupkan 2 kilogram kokain di tas yang ia bawa.

Kisah Frampton di atas merupakan contoh nyata bagaimana seekor gagak, dalam hal ini Frampton, teperdaya oleh seekor rubah, dalam hal ini wanita bintang model dewasa. Frampton yang dikenal cerdas kehilangan akal sehatnya karena terobsesi oleh emosi romantik yang ia jalin di dunia maya. Sebagaimana gagak yang kehilangan akal sehat dengan menjatuhkan keju dari paruhnya karena ia bersiul demi mendapat julukan Ratu Burung, Frampton kehilangan akal sehat dengan menjatuhkan reputasi intelektualnya karena membawa tas berisi 2 kilogram kokain demi bertemu dengan wanita pujaannya.

Semua orang bisa kehilangan akal sehat sebagaimana gagak dan Frampton, akan tetapi semakin cerdas seseorang justru semakin mungkin ia kehilangan akal sehat. Jurnalis sains bernama David Robson menyebutnya sebagai jebakan intelegensia (intelligence trap). Orang yang memiliki kecerdasan justru berpotensi membuat ia terjebak bertindak tidak cerdas. Untuk mudah memahami, Robson menganalogikan kecerdasan dengan sebuah mobil. Dalam bukunya berjudul The Intelligence Trap: Revolutionise Your Thinking and Make Wiser Decisions, Robson menjelaskan,

Perhaps the best analogy is a car. A faster engine can get you places more quickly if you know how to use it correctly. But simply having more horsepower won’t guarantee that you will arrive at your destination safely. Without the right knowledge and equipment – the brakes, the steering wheel, the speedometer, a compass and a good map – a fast engine may just lead to you driving in circles – or straight into oncoming traffic. And the faster the engine, the more dangerous you are.

In exactly the same way, intelligence can help you to learn and recall facts, and process complex information quickly, but you also need the necessary checks and balances to apply that brainpower correctly. Without them, greater intelligence can actually make you more biased in your thinking.

Mungkin analogi terbaiknya adalah mobil. Mesin yang lebih cepat dapat membawa Anda ke suatu tempat lebih cepat jika Anda tahu cara menggunakannya dengan benar. Namun, memiliki tenaga kuda yang lebih besar saja tidak menjamin Anda akan tiba di tujuan dengan selamat. Tanpa pengetahuan dan perlengkapan yang tepat – rem, setir, speedometer, kompas, dan peta yang baik – mesin yang cepat justru dapat membuat Anda mengemudi berputar-putar – atau langsung menabrak lalu lintas yang berlawanan arah. Dan semakin cepat mesinnya, semakin berbahaya Anda.

Dengan cara yang persis sama, kecerdasan dapat membantu Anda mempelajari dan mengingat fakta, serta memproses informasi kompleks dengan cepat, tetapi Anda juga membutuhkan kemampuan untuk mengendalikan dan menyeimbangkan (checks and balances) agar dapat menggunakan kemampuan otak tersebut dengan benar. Tanpa kemampuan tersebut, kecerdasan yang lebih tinggi justru dapat membuat Anda lebih bias dalam berpikir.

Selama ini kita berasumsi bahwa semakin cerdas seseorang membuat ia mampu berpikir dengan baik. Berpegang pada asumsi ini, kita berpandangan bahwa pendidikan dibutuhkan agar dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan dapat menerapkan keterampilan dan mengatasi masalah secara profesional di berbagai bidang. Namun demikian, menurut Robson, “kecerdasan dan pendidikan akademik tidak hanya gagal melindungi kita dari berbagai kesalahan kognitif, orang yang cerdas mungkin bahkan lebih rentan terhadap berbagai jenis pemikiran bodoh.

Dengan demikian, kecerdasan adalah satu hal, berakal sehat adalah hal lain. Kemampuan berpikir adalah satu hal, kemampuan berpikir yang baik adalah hal lain. Sehingga orang cerdas belum tentu mampu berpikir secara rasional. Kajian mengenai kecerdasan tidak menyertakan rasionalitas sebagai bagian dari komponennya. Robson menulis,

We’ve already seen how our definition of intelligence could be expanded to include practical and creative reasoning. But those theories do not explicitly examine our rationality, defined as our capacity to make the optimal decisions needed to meet our goals, given the resources we have to hand, and to form beliefs based on evidence, logic and sound reasoning.

Kita telah melihat bagaimana definisi kecerdasan kita dapat diperluas untuk mencakup penalaran praktis dan kreatif. Namun, teori-teori tersebut tidak secara eksplisit mengkaji rasionalitas kita, yang didefinisikan sebagai kapasitas kita untuk membuat keputusan optimal yang diperlukan guna mencapai tujuan kita, dengan sumber daya yang kita miliki, dan untuk membentuk keyakinan berdasarkan bukti, logika, dan penalaran yang kuat.

Temuan dalam psikologi, terang Robson, menunjukkan bahwa hubungan antara kecerdasan dengan kemampuan berpikir rasional tidak berkorelasi secara sempurna. Individu yang memiliki skor tinggi dalam SAT (Scholastic Aptitude Test), yang menunjukkan kemampuan tinggi dalam matematika, membaca, dan menulis, dapat saja menunjukkan kecakapan yang buruk dalam berpikir rasional. Fenomena ketidakselarasan antara kecerdasan dan rasionalitas pada seseorang  dikenal dengan disrasionalia (dysrationalia).

Berikut ini fenomena disrasionalia dalam sejumlah temuan penelitian:

  • Mensa International, sebuah organisasi dengan anggota ber-IQ tinggi, menunjukkan bahwa 44 persen anggotanya percaya pada astrologi, dan 56 persen percaya bahwa bumi telah dikunjungi oleh makhluk luar angkasa.
  • Kecerdasan memainkan peran kecil dalam menentukan apakah kita bersedia menunda kepuasan langsung demi imbalan yang lebih besar di masa depan.
  • Pada eksperimen yang melibatkan subjek yang beragam (berusia 18-88 tahun), keterampilan pengambilan keputusan mereka hanya sedikit terkait dengan kecerdasan mereka.
  • Orang dengan IQ lebih tinggi cenderung mengkonsumsi lebih banyak alkohol dan lebih mungkin merokok atau menggunakan narkoba.
  • Orang dengan IQ tinggi juga sama rentannya menghadapi kesulitan keuangan, seperti gagal bayar hipotek, kebangkrutan, atau utang kartu kredit. Sekitar 14 persen orang dengan IQ 140 telah mencapai batas kredit mereka, dibandingkan dengan 8,3 persen orang dengan IQ rata-rata 100.

Mengapa orang mengalami disrasionalia? Akar dari fenomena ini, menurut Robson, diterangkan oleh dua ilmuwan psikologi kognitif bernama Daniel Kahneman dan Amos Tversky yang mengidentifikasi banyak bias kognitif dan heuristik (aturan praktis yang mudah dan cepat) yang dapat mendistorsi penalaran kita.

Dalam perspektif psikologi kognitif, orang berpikir menggunakan dua jenis :

  • Sistem 1: Cara berpikir yang intuitif, otomatis, ‘berpikir cepat’ yang mungkin rentan terhadap bias bawah sadar.
  • Sistem 2: Cara berpikir yang ‘lambat’, lebih analitis, dan deliberatif atau disadari.
Sumber: ResearchGate

Menurut pandangan ini, yang disebut dual-process theory, banyak keputusan irasional yang kita lakukan muncul ketika kita terlalu bergantung pada Sistem 1, yang memungkinkan terjadinya bias dalam berpikir sehingga mengaburkan penilaian objektif kita.

Untuk lebih jelas mengetahui bagaimana Sistem 1 bekerja, perhatikan soal di bawah ini.

Total harga sebuah raket dan sebuah kok adalah 110 ribu. Harga raketnya 100 ribu lebih mahal daripada harga koknya. Berapa harga koknya? 

Jika jawaban Anda 10 ribu, Anda menggunakan cara berpikir Sistem 1 dan telah mengaburkan Anda dari berpikir rasional.

Kembali kepada Frampton. Untuk meringankan hukuman, psikolog yang menjadi tim pembelanya mengumumkan bahwa Frampton didiagnosis mengalami gangguan psikologis yang membuatnya rentan tertipu (gullible). Saat berada di penjara, Frampton menjelaskan kepada wartawan di sana, “Saya adalah kasus ekstrem dalam hal kenaifan dan IQ. Tentu saja, ada tanda-tanda peringatan yang akan dipandang curiga oleh kebanyakan orang, dan diagnosis ini sebagai pembelaan menjelaskan kebodohan tersebut. Namun, saya tidak tahu ada obat-obatan terlarang dan tidak tahu cara menyelundupkan obat-obatan untuk menghasilkan uang.”

Kecenderungan orang untuk mudah tertipu yang disebut dengan gullibility menjadi penjelasan lain mengapa terjadi fenomena disrasionalia. Kecenderungan mudah tertipu tidak mesti sebagai gejala gangguan kepribadian. Kecenderungan ini merupakan sifat yang ada pada semua orang. Jadi, setiap orang bisa tertipu, namun beberapa orang lebih rentan terhadap sifat mudah tertipu dibandingkan yang lain. Orang-orang ini buta terhadap tipu daya, yang dicirikan dengan tidak peka terhadap isyarat ketidakpercayaan (insensitivity to cues of untrustworthiness) dan mudah teperdaya oleh bujuk rayu orang lain (persuadability). 

Similar Posts