Belajar dari Adam Grant mengenai Cara Belajar

Adam Grant merupakan seorang pengajar bidang psikologi organisasi di Wharton School, Universitas Pennsylvania. Ia menulis sejumlah buku best-seller antara lain Original, Think Again, dan Hidden Potential. Atas kecemerlangan gagasannya, ia diminta sebagai konsultan bidang organisasi dan kepemimpinan di sejumlah perusahaan kelas dunia antara lain Google dan Gates Foundation.

Meski ilmu psikologi yang digelutinya di bidang organisasi, profesi Grant sebagai pengajar di kampus membuatnya memiliki pengalaman metode pembelajaran yang inspiratif. Pandangannya mengenai metode pembelajaran beranjak dari kritiknya terhadap pembelajaran tradisional yang minim dalam memberi kesempatan siswa untuk mempertanyakan diri sendiri dan orang lain dan juga minim dalam membangun kemampuan siswa berpikir ulang mengenai apa yang sudah mereka yakini sebagai kebenaran.

With so much emphasis placed on imparting knowledge and building confidence, many teachers don’t do enough to encourage students to question themselves and one another.

Dengan begitu banyak penekanan yang diberikan pada penyampaian pengetahuan dan membangun rasa percaya diri, banyak guru tidak cukup mendorong siswa untuk mempertanyakan diri mereka sendiri dan satu sama lain.

Rethinking needs to become a regular habit. Unfortunately, traditional methods of education don’t always allow students to form that habit.

Berpikir ulang perlu menjadi kebiasaan rutin. Sayangnya, metode pendidikan tradisional tidak selalu memungkinkan siswa untuk membentuk kebiasaan tersebut.

Berikut ini beberapa pandangan Adam Grant mengenai cara belajar sebagaimana dituangkan dalam bukunya berjudul Think Again.

  1. Minimalkan penggunaan metode ceramah

Setelah membaca buku Grant berjudul Think Again ini, saya menanyakan kepada mahasiswa saya di kelas, mau pilih mana, belajar dengan cara mendengar dosen berceramah atau belajar dengan mengerjakan tugas atau praktek? Kebanyakan mahasiswa memilih belajar dengan mendengarkan dosen berceramah. Ini dapat dipahami karena belajar dengan cara dosen berceramah tidak membuat mahasiswa repot. Mereka cukup duduk, diam, dengar dan duit catat. Apalagi dengan terbukanya akses sumber belajar di gadget mereka, mahasiswa sudah terbiasa belajar secara pasif dengan cara menyimak ceramah dari narasumber atau narator di video Youtube, Instagram, atau Tiktok mereka.

Adam Grant memaparkan hasil penelitian di mana, meski ceramah lebih disukai siswa, capaian hasil belajar menggunakan metode belajar aktif lebih baik dua kali lipat dibandingkan dengan metode ceramah. Menurut Grant, “Ceramah tidak dirancang untuk mengakomodasi dialog maupun sanggahan. Ceramah mendudukkan siswa sebagai penerima informasi yang pasif, bukan pemikir aktif.”

Grant sama sekali tidak melarang menggunakan metode ceramah. Ia tetap berceramah di kelas yang ia ampu. Hanya saja, menurut Grant, ceramah masih menjadi metode pengajaran yang dominan digunakan dalam pembelajaran di SMP dan SMA. Pembelajaran di kampus tidak jauh beda. Kampus-kampus di Amerika Utara, lebih dari separuh profesor bidang eksakta menghabiskan lebih dari 80 persen waktunya dengan berceramah. Grant menulis,

Lectures are not always the best method of learning, and they are not enough to develop students into lifelong learners. If you spend all of your school years being fed information and are never given the opportunity to question it, you won’t develop the tools for rethinking that you need in life.

Ceramah tidak selalu merupakan metode pembelajaran terbaik, dan tidak cukup untuk mengembangkan siswa menjadi pembelajar seumur hidup. Jika Anda menghabiskan seluruh tahun sekolah Anda dengan diberi informasi dan tidak pernah diberi kesempatan untuk mempertanyakannya, Anda tidak akan mengembangkan alat untuk berpikir ulang yang Anda butuhkan dalam hidup.

 

  1. Gunakan metode belajar aktif

Bagi siswa, ceramah dipandang lebih informatif dan menghibur. Siswa juga tidak perlu berpikir keras apabila guru menggunakan metode ceramah. Mungkin siswa seperti sedang menonton bioskop. Namun demikian, menurut Grant, belajar aktif seringkali tidak terlalu menyenangkan, bahkan menuntut kerja mental yang lebih keras, akan tetapi lebih efektif dalam membangun pemahaman yang kokoh pada siswa. Terkait pengalamannya mengampu pembelajaran di kelas, Grant bercerita,

In a typical three-hour class, I would spend no more than twenty to thirty minutes lecturing. The rest is active learning — students make decisions in simulations and negotiate in role-plays, and then we debrief, discuss, debate, and problem solve.

 Dalam perkuliahan yang biasanya berlangsung tiga jam, saya akan menghabiskan tidak lebih dari 20 hingga 30 menit untuk berceramah. Sisanya adalah pembelajaran aktif — siswa membuat keputusan dalam simulasi dan bernegosiasi dalam permainan peran, lalu kami melakukan tanya jawab, berdiskusi, berdebat, dan memecahkan masalah.

 

  1. Belajar bersama-sama dengan siswa

Grant belajar dari dosennya yang menginspirasinya dalam membangun metode belajar yang baik. Menurut dosennya itu, dalam belajar tidak cukup mahasiswa belajar dari dosen. Mahasiswa mestinya belajar bersama-sama dengan dosen. Hal ini mendorong Grant setiap tahun mengganti materi ajar setidaknya 20 persen agar ia bisa berpikir mengenai materi yang baru bersama-sama dengan mahasiswanya.

My mistake was treating the syllabus as if it were a formal contract: once I finalized it in September, it was effectively set in stone. I decided it was time to change that and invite the students to rethink part of the structure of the class itself.

 On my next syllabus, I deliberately left one class session completely blank. Halfway through the semester, I invited the students to work in small groups to develop and pitch an idea for how we should spend that open day.

 Dulu saya salah karena menganggap silabus seolah-olah itu adalah kontrak resmi: setelah saya menyelesaikannya pada bulan September, maka silabus tidak bisa diubah lagi. Saya memutuskan sudah waktunya untuk mengubahnya dan mengundang mahasiswa untuk memikirkan kembali sebagian dari struktur kelas yang mereka ikuti.

Pada silabus saya berikutnya, saya sengaja membiarkan satu sesi kelas benar-benar kosong. Di pertengahan semester, saya mengundang mahasiswa untuk bekerja dalam kelompok kecil untuk mengembangkan dan menyampaikan ide tentang bagaimana kita harus mengisi kelas itu.

 

  1. Dalam belajar, merasa bingung itu biasa

Dalam belajar, merasa bingung itu niscaya. Selama proses belajar, siswa menerima pengetahuan dan keterampilan baru yang belum pernah diketahui atau dikuasainya. Oleh karena itu, belajar membutuhkan proses berpikir kompleks dan tidak jarang membuat siswa bingung. Namun demikian, menurut Grant, “Kebingungan adalah petunjuk bahwa ada hal baru untuk dipelajari atau masalah baru untuk dijawab.” Yang diperlukan adalah kemauan untuk berpikir terbuka bahwa ada hal-hal yang belum diketahui atau dikuasainya. Bagi orang-orang yang berpikir terbuka, kata Grant, kebingungan akan ditanggapi dengan rasa ingin tahu dan minat.

Guru secara alamiah terdorong untuk menyelamatkan siswanya dari rasa bingung secepat mungkin, karena dengan ini siswa tidak merasa tersesat dalam belajar yang bisa membuat mereka tidak percaya diri pada kemampuannya. Guru yang baik, menurut Grant, tidak memberi materi pelajaran untuk sekedar menghilangkan kebingungan siswanya. Guru yang baik mampu membuat siswa-siswanya menerima kebingungan karena dengan itu mereka bisa mengendalikan proses belajar mereka sendiri.

  1. Bangun proses belajar yang memungkinkan siswa belajar cara guru berpikir

Belajar yang baik adalah belajar yang sarat berpikir. Guru dan siswa saling berpikir. Dari sanalah siswa dapat belajar bagaimana guru membangun pandangan dan pemikiran mengenai suatu topik tertentu. Memberi kesempatan siswa untuk memahami pikiran guru itu lebih baik daripada sekedar mereka memahami pengetahuan dari gurunya. Menurut Grant,

I believe that good teachers introduce new thoughts, but great teachers introduce new ways of thinking. Collecting a teacher’s knowledge may help us solve the challenges of the day, but understanding how a teacher thinks can help us navigate the challenges of a lifetime. Ultimately, education is more than the information we accumulate in our heads. It’s the habits we develop as we keep revising our drafts and the skills we build to keep learning.

Saya percaya bahwa guru yang baik memperkenalkan pemikiran baru, tetapi guru yang hebat memperkenalkan cara berpikir baru. Menyerap pengetahuan guru dapat membantu kita memecahkan tantangan sehari-hari, tetapi memahami cara berpikir guru dapat membantu kita menghadapi tantangan seumur hidup. Pada akhirnya, pendidikan lebih dari sekadar informasi yang kita kumpulkan di kepala kita. Pendidikan adalah kebiasaan yang kita kembangkan saat kita terus merevisi draf dan keterampilan yang kita bangun untuk terus belajar.

Similar Posts