Elementary school children mocking and bullying an unhappy and distraught student in a hallway.

Bullying: Pengertian, Jenis, Sebab, Akibat, dan Tanda-tandanya

Share this:

Apa itu bullying?

Dan Olweus dalam bukunya Bullying at School: What We Know and What We Can Do (1993) mendefinisikan bullying sebagai berikut:

A student is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students. Also implied in bullying is an imbalance in strength (an asymmetric power relationship): the student who is exposed to the negative actions has difficulty defending him/herself and is somewhat helpless against the student or students who harass.

Seorang siswa dirundung atau menjadi korban ketika ia terpapar, berulang kali dan seiring waktu, terhadap tindakan negatif dari satu atau lebih siswa lain. Perundungan juga menyiratkan ketidakseimbangan kekuatan (hubungan kekuasaan asimetris): siswa yang terpapar tindakan negatif tersebut kesulitan membela diri dan merasa tidak berdaya melawan seorang siswa atau lebih yang melecehkannya.

Dalam bukunya How to Stop Bullying in Classrooms and Schools: Using Social Architecture to Prevent, Lessen, and End Bullying (2013), Phyllis Kaufman Goodstein mendefinisikan bullying sebagai berikut:

Bullying occurs when one or more people intentionally and repeatedly try to hurt another person(s). The person or group who bullies has some type of advantage over the person who is targeted.

Perundungan terjadi ketika satu orang atau lebih secara sengaja dan berulang kali mencoba menyakiti orang lain. Orang atau kelompok yang melakukan perundungan memiliki beberapa keuntungan dibandingkan orang yang menjadi sasaran.

Pemerintah Indonesia secara lugas mendefinisikan bullying pada Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Pada pasal 7 sampai 9 peraturan tersebut, disebutkan bahwa perundungan merupakan kekerasan fisik dan/atau kekerasan psikis yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa. Kekerasan fisik pada peraturan tersebut dijabarkan antara lain tawuran atau perkelahian massal; penganiayaan; perkelahian; eksploitasi ekonomi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku; pembunuhan; dan/atau perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan fisik dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Kekerasan psikis pada peraturan tersebut dijabarkan antara lain pengucilan; penolakan; pengabaian; penghinaan; penyebaran rumor; panggilan yang mengejek; intimidasi; teror; perbuatan mempermalukan di depan umum; pemerasan; dan/atau perbuatan lain yang sejenis.

Apa kriteria suatu tindakan disebut bullying?

Menurut Olweus, bullying dicirikan oleh tiga kriteria berikut:

  1. Merupakan perilaku agresif atau “perbuatan merugikan” yang disengaja;
  2. Dilakukan berulang kali dan dari waktu ke waktu; dan
  3. Terjadi dalam hubungan interpersonal yang ditandai oleh ketidakseimbangan kekuasaan.

Untuk mudah mengingatnya, ketiga kriteria tersebut disingkat dengan RIP, yakni Repeated (berulang), Intentional (disengaja), dan Power (ketidakseimbangan kekuasaan)

Apa semua tindakan agresif itu bullying?

Dalam bukunya, Goodstein menjelaskan bahwa bullying selalu bersifat agresif, tetapi tidak semua tindakan agresi merupakan bullying. Goodstein memberi contoh tindakan-tindakan ini tidak bisa disebut bullying:

  1. Dua teman yang bertengkar (dengan asumsi mereka memiliki kesetaraan) bukanlah bullying.
  2. Bermain kasar, permainan perkelahian, cidera, atau ejekan main-main yang tidak memiliki niat untuk menyakiti dan biasanya tidak terulang.
  3. Tindakan impulsif , yakni peristiwa tunggal yang bersifat naluriah di mana orang yang agresif bertindak tanpa berpikir, sehingga tidak ada keinginan untuk menyakiti.
  4. Jika orang tidak memiliki kemampuan kognitif untuk menyadari bahwa mereka menyakiti orang lain, itu bukanlah bullying.

Apa saja jenis-jenis bullying?

Tindakan bullying dapat dibagi menjadi empat kategori, yakni fisik, verbal, relasional, dan cyberbullying. Bullying juga dapat diklasifikasikan sebagai langsung dan tidak langsung. Bullying langsung bersifat terbuka, nyata, dan dilakukan di depan mata seseorang. Bullying fisik dan verbal dikelompokkan dalam bullying langsung. Bullying tidak langsung bersifat terselubung, tidak mencolok, dan dilakukan di belakang seseorang. Bullying relasional dan cyberbullying termasuk dalam kelompok ini. Penjelasan di bawah ini dikutip (dengan sedikit perubahan) dari penjelasan Goodstein di bukunya.

  1. Bullying fisik

Bullying fisik adalah bentuk bullying yang paling dikenal. Bullying ini paling mudah diidentifikasi dan dapat meninggalkan bukti nyata berupa luka dan memar di tubuh korban. Meskipun kedua jenis kelamin melakukan kekerasan fisik, laki-laki lebih sering menggunakan bullying jenis ini daripada perempuan. Bentuk bullying ini juga lebih umum terjadi pada anak-anak yang lebih muda.

Contoh bullying fisik meliputi memukul, menendang, mendorong, mencekik, menampar, mencengkeram, mencubit, menggigit, meludah, menusuk, menyentuh, mencakar, menjegal, menarik rambut, memperlihatkan bagian pribadi, memaksa kontak fisik, meraih secara seksual, melempar benda, menahan, menghalangi jalan, mengancam, gerakan cabul, menatap ke bawah, memutar mata, menempelkan tanda di punggung seseorang, menarik baju, menurunkan celana, mengunci seseorang di dalam kamar, menguntit, mencuri, atau merusak barang.

  1. Bullying verbal

Seiring meningkatnya kemampuan verbal anak-anak, mereka menemukan bahwa kata-kata dapat digunakan sebagai senjata untuk menyakiti orang lain. Sebanyak 70% bullying bersifat verbal, menjadikannya bentuk kekerasan yang paling sering terjadi, dan digunakan baik oleh anak laki-laki maupun perempuan. Kata-kata dapat dibisikkan, diucapkan dalam sedetik dan tidak meninggalkan bekas, sehingga jenis bullying ini sulit diidentifikasi. Anak-anak ragu untuk melaporkan bullying verbal karena sulit untuk mendukung klaim mereka. Interpretasi atas kata-kata bersifat subjektif.

Bullying verbal mencakup komentar kejam tentang penampilan, kecerdasan, minat, pakaian, budaya, ras, agama, keluarga, cara bicara, dan disabilitas seseorang. Bullying verbal juga mencakup berteriak, meniru, mengejek, mengumpat, lelucon yang menyakitkan, mengancam, tertawa, panggilan telepon yang melecehkan, dan berbisik di belakang seseorang. Orang dewasa sering kali mengabaikan hinaan verbal karena mengira kata-kata tidak berbahaya, padahal bisa lebih merusak di agresi fisik. Peribahasa mengatakan, lidah lebih tajam dari pedang.

  1. Bullying relasional

Bullying relasional menjadi pilihan baru dalam praktik bullying di akhir masa kanak-kanak dan remaja. Bullying ini terjadi setelah bullying verbal, yaitu ketika seseorang secara diam-diam memanipulasi struktur sosial dalam upaya menghancurkan hubungan, penerimaan, atau status seseorang dalam kelompok. Bullying relasional seringkali dilakukan secara anonim oleh seseorang yang meminta orang lain untuk melakukan bullying dan membuatnya tampak seolah-olah tidak ada niat untuk melukai. Kekerasan semacam ini mengandalkan kecerdasan sosial dan jaringan sosial untuk memfasilitasi agresi. Anak perempuan lebih sering melakukan bullying relasional daripada anak laki-laki.

Agresi relasional dicapai dengan menyebarkan kebohongan dan rumor yang bertujuan merusak reputasi dan pada akhirnya persahabatan. Agresi ini mencakup upaya menjadikan seseorang terlihat buruk, mengeroyok seseorang, mengucilkan, memfitnah, mengabaikan, merusak kepercayaan, menjadikan seseorang kambing hitam, mengkritik penampilan atau kepribadian seseorang, melakukan panggilan iseng, sarkasme, menekan orang lain untuk tidak berteman dengan seseorang, menahan diri dari pertemanan, dan menyabotase hubungan. Frasa yang terkait dengan bullying relasional antara lain “Kamu tidak boleh bermain dengan kami,” atau “Jika kamu berteman dengannya, aku tidak akan berteman denganmu.

Agresi relasional menuntut kewaspadaan dan konsekuensi yang sama seperti bentuk bullying langsung. Anak-anak korban bullying melaporkan bahwa cedera psikologis akibat bullying relasional ini sama menyakitkannya, bahkan mungkin lebih menyakitkan, daripada pukulan bertubi-tubi. Salah satu alasan mengapa bullying relasional begitu merusak adalah karena anak-anak mulai berjarak dengan keluarga mereka dan mengembangkan hubungan dengan kelompok sebaya mereka. Apa yang dilakukan dan dikatakan teman sebaya memengaruhi identitas dan harga diri mereka.

  1. Cyberbullying

Era digital membawa teknologi baru dan bersamanya muncul pula jenis bullying berbahaya yang dikenal dengan nama cyberbullying. Bullying ini menggunakan perangkat telekomunikasi seperti komputer dan handphone untuk menyakiti, mempermalukan, atau mengintimidasi orang lain. Bullying siber terjadi ketika komentar yang melecehkan, jahat, atau pornografi, atau gambar yang memalukan diunggah di internet melalui pesan instan, email, ruang obrolan, media sosial (misalnya, Facebook, Instagram, Tiktok, Twitter), dan situs web berbagi video (misalnya, YouTube), blog, grup diskusi, pesan (misalnya Whatsapp), situs game online, dan sebagainya. Orang yang melakukan cyberbullying menyamar sebagai orang lain, menipu orang lain agar membagikan kata sandi, mengecualikan, menguntit di dunia maya, membuat jajak pendapat yang kejam, dan menyebarkan informasi pribadi serta rahasia tanpa izin. Melalui bullying jenis ini, pesan-pesan kasar dan foto-foto yang memalukan dapat diteruskan dari satu ponsel atau komputer ke ponsel atau komputer lain. Tujuannya adalah untuk menyakiti dan mencemarkan nama baik orang yang dirundung.

Menjadi pelaku dalam bullying tradisional dapat memprediksi partisipasi dalam cyberbullying, dan sebaliknya. Semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya (di depan komputer, di layar handphone) semakin besar kemungkinan menjadi korban cyberbullying. Remaja mengatakan bahwa cyberbullying sama atau lebih buruk daripada bullying di dunia nyata.

Bagaimana prevalensi kasus bullying di sekolah-sekolah di Indonesia?

The Programme for International Student Assessment (PISA), selain menilai pengetahuan dan keterampilan siswa berusia 15 tahun dalam matematika, membaca, dan sains, juga menanyakan siswa mengenai seberapa nyaman mereka berada di sekolah dan sekitarnya. Hasil PISA 2022 di Indonesia melaporkan sebagai berikut:

  • Data PISA 2022 menunjukkan bahwa dalam sistem pendidikan dengan kinerja yang tinggi dan rasa memiliki siswa yang meningkat, siswa cenderung merasa lebih aman dan lebih sedikit terpapar perundungan dan risiko lainnya di sekolah.
  • Di Indonesia, 4% siswa melaporkan tidak merasa aman dalam perjalanan ke sekolah (rata-rata OECD: 8%); 6% siswa melaporkan tidak merasa aman di ruang kelas mereka di sekolah (rata-rata OECD: 7%); 17% siswa melaporkan tidak merasa aman di tempat lain di sekolah (misalnya lorong, kafetaria, toilet) (rata-rata OECD: 10%).
  • Sekitar 25% anak perempuan dan 30% anak laki-laki melaporkan menjadi korban perundungan setidaknya beberapa kali dalam sebulan (rata-rata OECD: 20% anak perempuan dan 21% anak laki-laki)

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat kasus kekerasan di sekolah mengalami peningkatan signifikan dalam kurun empat tahun terakhir. Sepanjang 2024, terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan pesantren. Angka itu meningkat 100 persen dibanding 2023. Tahun 2020 terdapat 91 kasus, naik menjadi 142 kasus di 2021, 194 kasus di 2022, 285 kasus di 2023, dan naik menjadi 573 kasus di 2024. JPPI merinci, 31 persen kasus kekerasan pada tahun 2024 berkaitan dengan bullying, sedangkan jenis kekerasan yang dominan adalah kekerasan seksual (42 persen).

Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa kasus bullying meningkat tajam secara nasional. Data 2023 terdapat 1.478 kasus bullying yang dilaporkan. Sementara pada 2022 terdapat 266 kasus, 53 kasus pada 2021, dan 119 kasus di 2020.

Share this:

Similar Posts