
Beberapa artikel yang saya tulis di Psikonara merupakan buah dari kebaikan hati pihak-pihak yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pandangan dan berdiskusi mengenai psikologi sosial, pendidikan, kesehatan mental, literasi digital, dan penggunaan media sosial.

Pada 13 September 2025 lalu, saya berkesempatan berdiskusi mengenai literasi bersama para penggiat literasi di Jakarta yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional. Saya menyampaikan bahwa saat ini kita hidup dalam masyarakat di mana yang paling lekat dalam diri kita bukan buku tetap smartphone. Apa yang saya bayangkan sebagai masyarakat hiperliterasi sesungguhnya tidak ada karena yang kita baca sehari-hari dan tidak ingin lepas darinya itu bukan buku tetapi smartphone. Sehingga, smartphone dengan banyak aplikasi di dalamnya termasuk media sosial membuat hambatan literasi sesungguhnya datang dari diri kita sendiri yang tidak mampu menahan keasyikan bermedia sosial dan menggunakan smartphone. Untuk itu saya menyampaikan bahwa kita (baik individu maupun lembaga, misalnya perpustakaan) perlu membangun kebiasaan membaca (bagi diri sendiri maupun anggota masyarakat) menggunakan dua jalur berpikir, yakni berpikir cepat dan berpikir lambat.

Pada 27 Oktober 2025 lalu, saya berkesempatan berdiskusi dengan para guru di Jakarta mengenai peran guru dan sekolah dalam menangkal berita hoaks di lingkungan pendidikan. Di awal sesi saya mengajukan tiga soal yang menunjukkan bahwa kognisi manusia rentan termakan berita hoaks. Saya sampaikan bahwa dalam psikologi sosial manusia disebut dengan homo credulus atau makhluk yang mudah tertipu. Untuk menangkal berita hoaks di lingkungan pendidikan, para guru dan juga orangtua perlu menggunakan sejumlah cara yang direkomendasikan oleh ilmuwan psikologi dalam menangkal berita hoaks, yakni debunking (pengecekan fakta), prebunking (pra-pembongkaran), literasi media dan digital, dan memberi dorongan lembut (nudge).

