Jadilah Diri Sendiri: Belajar dari William Zinsser tentang Gaya Tulisan
“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa punya gaya tulisan seperti Goenawan Mohamad hanya dalam waktu semalam; Goenawan Mohamad sendiri tidak bisa.”
Siapa William Zinsser?
William Zinsser (1922-2015) adalah seorang jurnalis, penulis, editor, dan pengajar dari Amerika Serikat. Ia merintis karier sebagai seorang jurnalis di New York Herald Tribune yang memungkinkannya menulis berbagai jenis karya non-fiksi seperti feature, kritik film, dan editorial. Pada 1970an ia menjadi pengajar mengenai penulisan non-fiksi di Universitas Yale.
Zinsser menulis sebuah karya yang menjadi buku klasik mengenai penulisan non-fiksi berjudul On Writing Well: The Classic Guide to Writing Nonfiction. Buku yang terus dicetak ulang dan diterbitkan dalam berbagai bahasa ini terbit pertama kali pada tahun 1976 dan pada tahun 2016 diterbitkan dalam rangka perayaan 40 tahun buku tersebut.
Dalam bukunya itu, Zinsser menulis mengenai gaya tulisan (style). Berikut ini pandangan Zinsser mengenai gaya tulisan yang dituangkan dalam bukunya tersebut.
- Agar penulis memiliki gaya tulisan, pertama-tama penulis perlu memandang bahwa menulis itu kegiatan kerajinan (craft).
Penulis perlu memandang bahwa pekerjaan menulis itu seperti kerja tukang kayu. Sehingga penulis harus tahu apa saja alat-alat (tools) yang penting dan apa fungsinya masing-masing.
Extending the metaphor of carpentry, it’s first necessary to be able to saw wood neatly and to drive nails. Later, you can bevel the edges or add elegant finials, if that’s your taste. But you can never forget that you are practicing a craft that’s based on certain principles. If the nails are weak, your house will collapse. If your verbs are weak and your syntax is rickety, your sentences will fall apart.
Dengan metafora pertukangan, pertama-tama penting untuk dapat menggergaji kayu dengan rapi dan memaku. Kemudian, Anda dapat membuat tepinya miring atau menambahkan finial yang elegan, jika itu selera Anda. Tetapi Anda tidak boleh lupa bahwa Anda sedang mempraktikkan kerajinan yang didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu. Jika pakunya lemah, rumah Anda akan runtuh. Jika kata kerja Anda lemah dan sintaksis Anda goyah, kalimat Anda akan berantakan.
- Gaya tulisan tidak terbentuk dengan cepat, sehigga penulis membutuhkan waktu sampai memiliki gaya tulisan tertentu.
Gaya tulisan terbentuk dengan mengasah keterampilan bertahun tahun.
Goenawan Mohamad, penulis esai Catatan Pinggir pada Majalah Tempo, dikenal dengan gaya tulisan yang puitis, kosakata yang kaya, dan memantik pembaca untuk berpikir. Ia punya gaya tulisan tersebut karena konsisten menulis esai setiap minggu selama bertahun-tahun. Gaya tulisan bukan proyek Roro Jonggrang yang berharap bisa dimiliki dalam waktu semalam. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa punya gaya tulisan seperti Goenawan Mohamad hanya dalam waktu semalam; Goenawan Mohamad sendiri tidak bisa.
Zinsser menulis,
I’ll admit that certain nonfiction writers, like Tom Wolfe and Norman Mailer, have built some remarkable houses. But these are writers who spent years learning their craft, and when at last they raised their fanciful turrets and hanging gardens, to the surprise of all of us who never dreamed of such ornamentation, they knew what they were doing. Nobody becomes Tom Wolfe overnight, not even Tom Wolfe.
Saya akui bahwa beberapa penulis nonfiksi, seperti Tom Wolfe dan Norman Mailer, telah membangun beberapa rumah yang luar biasa. Tetapi mereka adalah penulis yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari keahlian mereka, dan ketika akhirnya mereka membangun menara-menara fantastis dan taman gantung mereka, yang mengejutkan kita semua yang tidak pernah memimpikan ornamen seperti itu, mereka tahu apa yang mereka lakukan. Tidak ada yang menjadi Tom Wolfe dalam semalam, bahkan Tom Wolfe sekalipun.

- Agar punya gaya tulisan, penulis harus menjadi diri sendiri.
Dengan menjadi diri diri sendiri, penulis dapat menghargai karya tulisnya, sesederhana apa pun karya yang dihasilkan. “Pertama-tama,” menurut Zinsser, “belajarlah memaku paku, dan jika apa yang Anda bangun kokoh dan berguna, nikmatilah kekuatannya yang sederhana.” Masalahnya, menurut Zinsser, kebanyakan penulis tidak sabar untuk memiliki gaya tulisan sehigga tulisan yang dihasilkan terlalu dekoratif agar terlihat unik atau istimewa. Zinsser menyampaikan bahwa gaya tulisan itu organik bagi penulisnya, seperti rambut yang dimiliki seseorang. Sehingga, mencoba menambahkan gaya tulisan yang bukan gayanya sendiri seperti menambahkan rambut palsu di kepala. Jika dilihat sekilas, ada sesuatu yang kurang pas. Penulis dengan gaya tulisan yang tidak organik membuat tulisannya tidak terlihat seperti karyanya sendiri.
This is the problem of writers who set out deliberately to garnish their prose. You lose whatever it is that makes you unique. The reader will notice if you are putting on airs. Readers want the person who is talking to them to sound genuine. Therefore, a fundamental rule is: be yourself. No rule, however, is harder to follow. It requires writers to do two things that by their metabolism are impossible. They must relax, and they must have confidence.
Inilah masalah para penulis yang sengaja menghias prosa mereka. Anda kehilangan apa pun yang membuat Anda unik. Pembaca akan menyadari jika Anda berpura-pura. Pembaca ingin orang yang berbicara kepada mereka terdengar tulus. Oleh karena itu, aturan dasarnya adalah: jadilah diri sendiri. Namun, tidak ada aturan yang lebih sulit untuk diikuti. Aturan ini mengharuskan penulis melakukan dua hal yang mustahil bagi metabolisme mereka. Mereka harus rileks, dan mereka harus percaya diri.
- Agar memiliki gaya tulisan, penulis didorong untuk menggunakan sudut pandang orang pertama.
Zinsser menulis,
Writers are obviously at their most natural when they write in the first person. Writing is an intimate transaction between two people, conducted on paper, and it will go well to the extent that it retains its humanity. Therefore, I urge people to write in the first person: to use “I” and “me” and “we” and “us.”
Penulis jelas berada dalam kondisi paling alami ketika mereka menulis dalam sudut pandang orang pertama. Menulis adalah transaksi intim antara dua orang, yang dilakukan di atas kertas, dan akan berjalan baik sejauh ia mempertahankan sisi kemanusiaannya. Oleh karena itu, saya mendorong orang-orang untuk menulis dalam sudut pandang orang pertama: menggunakan “aku”, “saya”, “kami”, dan “kita”.
Namun, ada penulis yang kurang percaya diri menggunakan sudut pandang orang pertama dalam tulisan-tulisannya. Mereka khawatir kalau tidak ada orang yang peduli dengan pendapatnya. Untuk penulis yang merasakan hal ini, Zinsser menjelaskan, “Orang-orang akan peduli dengan pendapatmu jika kamu menceritakan sesuatu yang menarik dan menceritakannya dengan kata-kata yang alami.”
Namun demikian, Zinsser menyadari bahwa menulis dengan sudut pandang orang pertama itu tidak mudah. Ada sejumlah hambatan yang dihadapi. Misalnya, karya jurnalistik menghindari wartawan menulis dengan sudut pandang orang pertama karena dikhawatirkan tulisan tidak mengungkap fakta; dunia akademik menghindari peneliti menulis dengan sudut pandang orang pertama karena dikhawatirkan tulisan tidak objektif. Terhadap tantangan demikian, Zinsser punya rumus,
Good writers are visible just behind their words. If you aren’t allowed to use “I,” at least think “I” while you write, or write the first draft in the first person and then take the “I”s out. It will warm up your impersonal style.
Penulis yang baik terlihat tepat di balik kata-kata mereka. Jika Anda tidak diizinkan menggunakan “aku”, setidaknya pikirkan “aku” saat menulis, atau tulis draf pertama sebagai orang pertama, lalu hilangkan “aku”. Itu akan menghangatkan gaya impersonal Anda.
- Gaya tulisan itu seperti jiwa, sehingga tulisan yang dihasilkan mengandung kedalaman jiwa penulisnya.
Menurut Zinsser,
Style is tied to the psyche, and writing has deep psychological roots.
Gaya terikat dengan jiwa, dan menulis memiliki akar psikologis yang dalam.
Karena gaya tulisan adalah jiwa penulisnya, bagi Zinsser, menulis itu bukan hanya terkait dengan subjek atau materi yang ditulis, tetapi justru yang lebih utama adalah siapa penulisnya. Maka agar memiliki gaya penulisan, penulis perlu melakukan transaksi dengan pembaca dengan cara ‘menjual diri’-nya. Dengan kata lain, kita diminta untuk berpikir, “ada diri saya dalam tulisan-tulisan saya”
Sell yourself, and your subject will exert its own appeal. Believe in your own identity and your own opinions. Writing is an act of ego, and you might as well admit it. Use its energy to keep yourself going.
Jual diri Anda, dan subjek Anda akan menunjukkan daya tariknya sendiri. Percayalah pada identitas dan opini Anda sendiri. Menulis adalah tindakan ego, dan Anda mungkin juga mengakuinya. Gunakan energinya untuk terus maju.
Saran mengenai gaya tulisan juga datang dari Kurt Vonnegut. Meski ia dikenal sebagai penulis fiksi, Vonnegut memberi saran penulisan non-fiksi yang dapat dibaca dalam artikel Kasihanilah Pembaca Anda: Delapan Saran Menulis dari Kurt Vonnegut.