Jangan Bunuh Angsanya! Pelajaran Mengenai Menunda Kepuasan

Dahulu ada seorang petani yang memiliki seekor angsa yang paling indah. Setiap hari, ketika ia mengunjungi sarangnya, angsa itu bertelur emas yang berkilauan.

Petani itu membawa telur-telur itu ke pasar dan segera menjadi kaya. Namun, ia jadi tidak sabar dengan angsa itu karena hanya memberinya satu telur emas dalam sehari. Ia tidak bisa kaya dengan cepat.

Suatu hari, setelah ia selesai menghitung uangnya, muncul ide untuk mendapatkan semua telur emas sekaligus dengan membunuh angsa itu dan membelahnya. Namun, ketika hal itu dilakukan, tidak ada satu pun telur emas yang ditemukannya, dan angsa kesayangannya itu mati.

Gambar dari Milo Winter dalam Aesop’s Favorite Fables

Perilaku manusia, entah anak-anak atau orang dewasa, dalam berinteraksi dengan sesuatu yang diinginkannya, secara sempurna digambarkan seperti petani yang memiliki angsa bertelur emas pada kisah di atas. Kita mudah tidak sabar dalam mememenuhi keinginan, tidak mampu menunda dalam mendapatkan kepuasan. Ini kelemahan primordial manusia, sebagaimana dialami nenek moyang manusia, Adam dan Hawa, yang boleh memakan apa saja di syurga namun justru tergoda dan tidak bisa menahan diri untuk tidak memakan satu-satunya makanan yang dilarang, buah khuldi.

Kelemahan primordial ini membuat orang-orang yang bertekad membangun kebiasaan baru melalui resolusi awal tahun (berhenti merokok, olahraga teratur, makan makanan sehat, menabung lebih banyak) seketika hancur lebur sebelum bulan Januari berakhir. Kelemahan ini yang membuat kita, pada suatu hari, berencana membuka media sosial hanya 5 menit namun terus menerus berselancar membuka status dan konten video sampai 50 menit bahkan berjam-jam. Itu yang membuat orang-orang yang kelebihan berat badan dan ingin kurus namun tidak bisa kurus karena gagal menahan diri dan tidak mampu berpisah dari makan-makanan enak yang sudah disukai dan biasa dimakan bertahun-tahun.

Kelemahan ini pula yang membuat orang-orang, alih-alih menabung, lebih suka membelanjakan barang atau jasa untuk memenuhi kepuasan diri segera setelah mendapat gaji sehingga gaji habis sebelum akhir bulan. Kelemahan ini yang membuat banyak orang yang menduduki jabatan publik di Indonesia yang selama ini dikenal sebagai figur berreputasi namun terjerat kasus etika dan hukum. Kelemahan ini yang membuat mahasiswa mencari jalan pintas mengerjakan tugas tulis mata kuliah dengan sepenuhnya dibantu oleh artificial intelligence (AI, seperti ChatGPT) dan diaku-aku sebagai karya dirinya, juga mahasiswa semester akhir yang draf skripsinya sengaja dibuat typo di sekujur halaman naskah agar bisa lolos uji Turnitin.

Dalam psikologi, konsep mengenai kemampuan manusia dalam menahan godaan disebut kendali diri (self-control). Walter Mischel, ilmuwan psikologi yang puluhan tahun meneliti mengenai kemampuan manusia menahan godaan berpandangan bahwa kendali diri adalah kemampuan kognitif yang bisa dimiliki dan dipelajari oleh siapa saja. Menurut Mischel, “Kemampuan ini kasat mata dan bisa diukur bahkan sejak usia dini dan kemampuan ini memiliki konsekuensi jangka panjang luar biasa bagi kesejahteraan dan kesehatan mental dan fisik sepanjang rentang kehidupan manusia.

Dalam bukunya The Marshmallow Test: Understanding Self-Control and How to Master It, Mischel menjelaskan bahwa kendali diri dapat digunakan atau tidak digunakan sepenuhnya tergantung pada motif seseorang, apakah akan menggunakannya atau tidak. Menurut Mischel, 

To be able to delay gratification and exert self-control is an ability, a set of cognitive skills, that, like any ability, can be used or not used depending primarily on the motivation to use it.

Untuk mampu menunda kepuasan dan menggunakan pengendalian diri sebagai sebuah kemampuan, seperangkat keterampilan kognitif, yang, seperti kemampuan apa pun, dapat digunakan atau tidak terutama bergantung pada motivasi untuk menggunakannya.

Whether or not self-control skills are used depends on a host of considerations, but how we perceive the situation and the probable consequences, our motivation and goals, and the intensity of the temptation, are especially important. …. But like all skills, self-control skill is exercised only when we are motivated to use it. The skill is stable, but if the motivation changes, so does the behavior.

Apakah keterampilan pengendalian diri digunakan atau tidak bergantung pada sejumlah pertimbangan, tetapi bagaimana kita memandang situasi dan kemungkinan konsekuensinya, motivasi dan tujuan kita, serta intensitas godaan, sangatlah penting. …. Namun, seperti semua keterampilan, keterampilan pengendalian diri hanya dilatih ketika kita termotivasi untuk menggunakannya. Keterampilan ini stabil, tetapi jika motivasinya berubah, perilakunya pun berubah.

Kendali diri tergantung pada pada motif kita, juga tergantung bagaimana kita memandang situasi dan konsekuensi yang mungkin timbul, juga tergantung pada intensitas godaannya, sehingga dapat dipahami kalau ada orang yang mampu mengendalikan diri pada satu hal namun gagal mengendalikan diri pada hal lain. Ada orang yang berhasil mengembangkan kemampuan mengendalikan diri pada bidang-bidang tertentu yang membuatnya menjadi figur berreputasi baik, namun gagal mengendalikan diri pada bidang-bidang lain yang membuat reputasinya terpuruk.

Karena pentingnya kemampuan mengendalikan diri ini, Mischel berpandangan bahwa pernyataan eksistensial manusia berkaitan dengan kemampuan dalam mengendalikan dirinya. Dan kemampuan untuk mengendalikan diri, yang juga berarti mengendalikan hidup, dapat dilakukan oleh siapa saja tergantung kemauan. Mischel menjelaskan,

When I am asked to summarize the fundamental message from research on self-control, I recall Descartes’s famous dictum cogito, ergo sum — “I think, therefore I am.” What has been discovered about mind, brain, and self-control lets us move from his proposition to “I think, therefore I can change what I am.” Because by changing how we think, we can change what we feel, do, and become. If that leads to the question “But can I really change?,” I reply with what George Kelly said to his therapy clients when they kept asking him if they could get control of their lives. He looked straight into their eyes and said, “Would you like to?”

Ketika saya diminta untuk merangkum pesan fundamental dari penelitian tentang pengendalian diri, saya teringat diktum cogito, ergo sum Descartes yang terkenal — “Saya berpikir, maka saya ada.” Apa yang telah ditemukan tentang pikiran, otak, dan pengendalian diri memungkinkan kita beralih dari proposisi Descartes tersebut ke “Saya berpikir, maka saya dapat mengubah diri saya.” Karena dengan mengubah cara kita berpikir, kita dapat mengubah apa yang kita rasakan, lakukan, dan jadikan. Jika itu mengarah pada pertanyaan, “Tetapi bisakah saya benar-benar berubah?”, saya menjawab dengan apa yang dikatakan George Kelly kepada klien terapinya ketika mereka terus bertanya kepadanya apakah mereka dapat mengendalikan hidup mereka. Dia menatap langsung ke mata mereka dan berkata, “Apakah Anda mau?”

Jadi, saat kita dihadapkan pada situasi apa pun yang membuat kita tergoda, berhasrat memenuhi keinginan dengan segera, ingatlah bahwa kita punya kemampuan untuk mengendalikan diri dan sepenuhnya tergantung kita apakah mau menggunakannya atau tidak. Dengan kendali diri, dalam situasi-situasi tersebut kita masih bisa mendapat telur-telur emas tanpa perlu membunuh angsa.

Similar Posts