Mas Zaini sebagai Imaji
Meski berasal dari kota yang sama, bahkan dari RT yang sama (almarhum kakak beliau dahulu ketua RT kami), saya tidak pernah berinteraksi intens dengan mas Zaini. Saya mengingat beberapa kali bertemu beliau dalam sejumlah kegiatan alumni organisasi kepelajaran yang banyaknya tidak lebih dari jumlah jari tangan kanan. Namun, dari pertemuan yang sedikit itu, beliau hadir dalam pikiran saya sebagai imaji. Ini karena beliau hadir lebih awal dalam pikiran saya sebagai figur yang dikenalkan oleh nenek saya dalam pertemuan biasa antara cucu-nenek pada suatu malam di rumahnya pada akhir pekan.
Seperti kisah biasa lainnya, saya dan adik-adik saya kerap diajak ayah dan ibu ke rumah nenek pada libur sekolah akhir pekan. Saat itu rumah orangtua hanya berselisih desa dengan rumah nenek. Sore hari kami bertandang ke rumah nenek, bermain sampai malam, menginap, dan akan pulang keesokan harinya. Yang berbeda mungkin karena nenek saya adalah single parent yang menopang keluarganya dengan menjual sarapan nasi ponggol (makanan khas Tegal berupa nasi dengan lauk orek tempe yang biasa jadi menu sarapan) setiap pagi di teras rumahnya. Jadi pada malam hari di rumah nenek, saya biasanya membantu memotong-motong tempe menjadi ukuran dadu yang akan dibuat tempe ponggol.
Di sela-sela membantu nenek, sementara adik-adik saya bermain, saya biasanya akan berada di kamar nenek karena antusias dengan tumpukan koran yang begitu banyak yang disimpan di kolong ranjang. Koran-koran itu bersebelahan dengan daun-daun pisang yang juga menumpuk. Koran-koran dan daun-daun pisang digunakan oleh nenek setiap hari untuk membungkus ponggol. Jadi, sebelum koran-koran itu mendarat di tangan pelanggan nenek, saya biasanya akan membuka halaman demi halaman koran, edisi demi edisi, sampai semua tumpukan koran terbesar di Jawa Tengah itu selesai saya buka.
Pada malam itu, saat saya lekat-lekat membaca halaman koran, nenek menghampiri dan berujar, “Ada nama Zaini Bisri di koran itu”. Nenek, yang lahir sekitar tahun pertama merah putih berkibar, melek huruf Arab namun buta huruf Latin, jadi tidak bisa menunjuk di bagian mana di koran itu yang mencantumkan nama yang dimaksud. Saya menelisik di antara halaman dan menemukan nama Ahmad Zaini Bisri di jajaran redaksi.
Saya yang belum tahu siapa gerangan orang yang dimaksud mendapat penjelasan dari nenek. “Dia bekerja sampai ke luar negeri. Rumahnya di sini,” terang nenek sambil menunjuk tembok kanan rumahnya. Rumah mas Zaini tepat di samping kanan rumah nenek, hanya terpisah oleh lorong untuk pejalan kaki dengan lebar tak sampai satu meter.
Sosokmu akan hidup sebagai imaji di kepala saya, menuntun saya sepanjang hidup, agar jadi kebanggaan nenek, juga ayah dan ibu saya, sebagaimana selama ini engkau menjadi kebanggaan nenek saya, juga ayah dan ibu saya.
Perbincangan cucu-nenek yang sebentar itu seperti jadi bahan bakar ketidaksadaran saya dengan menjadikan mas Zaini sebagai imaji di kepala saya. Saat berada di bangku SMP saya ditanya oleh guru BP mengenai profesi yang harus diisi di buku pribadi siswa. Saya mengisinya dengan wartawan, sembari bertanya ke guru BP bagaimana cara menjadi wartawan. “Untuk jadi wartawan kamu harus masuk SMA, setelah lulus tinggal melamar jadi wartawan,” terang guru BP. Betapa mudahnya. Singkat kisah, cita-cita sebagai wartawan saya perjuangkan usai saya lulus kuliah. Saya melamar sebagai wartawan di salah satu media cetak terkemuka, namun gagal saat seleksi kecepatan bekerja.
Meski saya sudah tidak tinggal di kota kelahiran sejak kuliah, imaji di kepala saya mengenai mas Zaini terus dipupuk melalui ayah atau ibu saya yang beberapa kali bertemu mas Zaini saat beliau pulang kampung. “Kemarin ketemu mas Zaini, tanya kabar kamu,” begitu cerita ayah atau ibu saya saat saya pulang kampung.
Karena jarak tinggal yang berjauhan, beliau di Semarang kemudian Tegal dan saya di Jogja kemudian Jakarta, tidak ada interaksi yang saling bertukar kabar. Satu-satunya yang masih saya ingat adalah interaksi jarak jauh saat saya, entah bagaimana ceritanya, mengabarkan kalau telah menulis buku dan diterbitkan di salah satu penerbit terbesar di Indonesia. Beliau menyampaikan selamat dan bertanya apakah punya relasi di lembaga penerbitan tersebut sehingga bisa diterbitkan di sana? Tentu tidak, dan pertanyaannya saya pandang lebih sebagai apresiasi atas apa yang saya lakukan.
Sekali lagi, tidak ada pertemuan yang benar-benar intens dengan beliau, semacam pertemuan empat mata yang benar-benar bisa memperjelas figur beliau sebagai model bagi saya. Semua hanya singgah dalam kepala saya sebagai imaji figur seorang wartawan, tetangga nenek saya, dan sama-sama sebagai alumni organisasi kepelajaran. Beliau menjadi imaji, bukan karena saya punya kemampuan yang sama layaknya semua manusia, tetapi beliau hadir dalam pikiran saya karena dihidup-hidupkan oleh nenek saya, juga ayah dan ibu saya.
Pagi itu, Ahad, 1 Juni 2025, ibu saya mengirim pesan melalui Whatsapp, “Sudah dapat kabar kalau mas Zaini Bisri meninggal?” Pesannya disampaikan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pesan yang saya kirim ke ibu saya mengenai kabar duka yang sama yang saya dapat dari rekan-rekan saya.
Selamat jalan mas Zaini. Sosokmu akan hidup sebagai imaji di kepala saya, menuntun saya sepanjang hidup, agar jadi kebanggaan nenek, juga ayah dan ibu saya, sebagaimana selama ini engkau menjadi kebanggaan nenek saya, juga ayah dan ibu saya.
Catatan
Mas Zaini sebagai… Ahmad Zaini Bisri, mantan redaktur dan wartawan senior Suara Merdeka, komisioner Komisi Informasi Jawa Tengah 2010-2014, dosen FISIP Universitas Pancasakti Tegal
alumni organisasi kepelajaran… Ahmad Zaini Bisri pernah menjadi Ketua Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia wilayah Jawa Tengah
saya ditanya oleh guru BP… Obrolan singkat dengan guru BP ini saya tuang 17 tahun lalu di blog ini.
namun gagal saat seleksi kecepatan bekerja… Saya merasa layak jadi wartawan karena menilai saya punya kemampuan menulis. Padahal, untuk mampu menulis mudah saja bagi orang yang baru mulai berprofesi sebagai wartawan. Seperti kata William Zinsser dalam bukunya On Writing Well, “If you went to work for a newspaper that required you to write two or three articles every day, you would be better writer after six months.” (Jika Anda bekerja di sebuah surat kabar yang mengharuskan Anda menulis dua atau tiga artikel setiap hari, Anda akan menjadi penulis yang lebih baik setelah enam bulan.)
kemampuan yang sama layaknya semua manusia… Sejarawan Yoval Noah Harari dalam bukunya Sapiens mengatakan bahwa penjelasan bahwa homo sapiens dapat bertahan hidup sampai sekarang adalah karena kemampuannya dalam berpikir abstrak, fiktif, atau imajinatif.