Paradoks Kekuasaan
Mengapa ada figur yang karena perangai baiknya terangkat naik sebagai pemimpin, namun setelah menjadi pemimpin justru melakukan perangai buruk? Mengapa ada pemimpin yang pada awal kepemimpinannya memimpin dengan bersahaja, namun di pengujung kekuasaaan justru memimpin dengan sewenang-wenang? Mengapa ada pemimpin yang terpilih karena peduli dengan kepentingan orang lain namun saat menjalani kekuasaan justru lebih peduli dengan dirinya sendiri? Pada akhirnya, mengapa ada pemimpin yang mulanya dipuja-puja oleh pendukungnya, namun setelah lama memimpin justru dihujat oleh orang yang dulu mendukungnya?
Ilmuwan psikologi sosial dari Universitas California Dacher Keltner menjelaskan fenomena ini sebagai paradoks kekuasaan. Dalam bukunya berjudul The Power Paradox: How We Gain and Lose Influence, Keltner menerangkan apa itu paradoks kekuasaan.
The power paradox is this: we rise in power and make a difference in the world due to what is best about human nature, but we fall from power due to what is worst. We gain a capacity to make a difference in the world by enhancing the lives of others, but the very experience of having power and privilege leads us to behave, in our worst moments, like impulsive, out-of-control sociopaths.
Paradoks kekuasaan adalah ini: kita meraih kekuasaan dan membuat perbedaan di dunia karena hal terbaik tentang hakikat manusia, tetapi kita jatuh dari kekuasaan karena hal terburuk. Kita memeroleh kapasitas untuk membuat perbedaan di dunia dengan meningkatkan harkat hidup orang lain, tetapi pengalaman memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewanya justru membuat kita berperilaku, di saat-saat terburuk kita, seperti seorang sosiopat yang impulsif dan tidak terkendali.
Bagaimana paradoks kekuasaan bisa terjadi? Keltner menjelaskan bahwa kekuasaan itu menggoda, dan godaan kekuasaan ini membuat kita menjalankan kekuasaan dengan cara yang justru dapat menghancurkan keterampilan yang kita miliki saat kita memeroleh kekuasaan pada awal kepemimpinan. Keltner menulis,
…the very practices that enable us to rise in power vanish in our experience of power. We gain and maintain power through empathy, but in our experience of power we lose our focus on others. We gain and maintain power through giving, but when we are feeling powerful, we act in self – gratifying and often greedy ways. Dignifying others with expressions of gratitude is essential to achieving enduring power, but once we are feeling powerful, we become rude and offensive. We build enduring power by telling stories that unite, but once we feel powerful, we tell stories that divide and demean.
…praktik yang memungkinkan kita untuk meraih kekuasaan lenyap dalam pengalaman kekuasaan kita. Kita memeroleh dan mempertahankan kekuasaan melalui empati, tetapi dalam pengalaman kekuasaan kita, kita kehilangan fokus pada orang lain. Kita memeroleh dan mempertahankan kekuasaan melalui memberi, tetapi ketika kita merasa berkuasa, kita bertindak dengan cara yang memuaskan diri sendiri dan sering kali serakah. Menghargai orang lain dengan ungkapan terima kasih sangat penting untuk mencapai kekuasaan yang langgeng, tetapi begitu kita merasa berkuasa, kita menjadi kasar dan menyinggung. Kita membangun kekuasaan yang langgeng dengan menceritakan kisah-kisah yang menyatukan, tetapi begitu kita merasa berkuasa, kita menceritakan kisah-kisah yang memecah belah dan merendahkan.
Paradoks kekuasaan ini dapat terjadi di mana, kapan saja, dan dapat menimpa siapa saja. Keltner berpandangan,
It isn’t just dictators, power – mad politicians, kings of high finance, and drug – addled rock stars who are vulnerable to abuses of power; the power paradox can undermine the social life of any of us at any moment. Whether we are at work, out with friends, in encounters with strangers, or with our children, the very skills that enable us to gain respect and esteem are corrupted when we are feeling powerful.
Bukan hanya diktator, politisi yang gila kekuasaan, konglomerat kelas kakap, dan bintang rock yang kecanduan narkoba yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan; paradoks kekuasaan dapat merusak kehidupan sosial kita semua kapan saja. Baik saat kita bekerja, keluar bersama teman, saat bertemu dengan orang asing, atau bersama anak-anak kita, keterampilan yang memungkinkan kita mendapatkan rasa hormat dan penghargaan justru rusak saat kita merasa berkuasa.
Untuk itu, agar tidak terjadi paradoks kekuasaan, penting bagi kita untuk menangani kecenderungan ini dalam level dan konteks kepemimpinan mana pun. Bagi Keltner, “menangani paradoks kekuasaan dengan baik adalah hal yang mendasar bagi kesehatan masyarakat kita.”
Untuk mencegah paradoks kekuasaan, Keltner menuangkannya dalam sejumlah prinsip kekuasaan yang mencakup lima konsep utama berikut ini.
- Mengkonsepkan kembali pengertian kekuasaan. Keltner memandang penting mengkonsepkan kembali apa itu kekuasaan. Selama ini kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang bersifat mendominasi, menekan, dan memaksa. Padahal kekuasaan tidak terbatas dengan hal itu. Mengonseptualisasikan kekuasaan sebagai paksaan, kata Keltner, menghambat usaha kita untuk bergumul dengan paradoks kekuasaan karena hal ini mendistorsi pemahaman kita tentang apa itu kekuasaan. Menurut Keltner, kekuasaan dimiliki oleh siapa saja dan ada dalam kehidupan sehari-hari saat kita berinteraksi dengan orang lain. Menurut Keltner, kekusaan adalah media yang dengannya kita membangun relasi dengan orang lain. Dengan demikian, menurut Keltner, kekuasaan itu mengenai bagaimana membuat perbedaan di dunia dengan cara memengaruhi orang lain.
- Bagaimana kekuasaan didapatkan. Menurut Keltner, kekuasaan itu tidak direbut tapi diberikan kepada kita oleh orang lain. Siapa yang diberikan kekuasaan? Masyarakat akan memberi kekuasaan kepada orang yang mengurus kebaikan dan kesejahteraan banyak orang. Untuk menghindari paradoks kekuasaan, kita perlu ingat bahwa kekuasaan yang kita peroleh berasal dari pemberian orang lain.
- Bagaimana kekuasaan bertahan. Menurut Keltner, kekuasaan dapat bertahan apabila saat kita menjalankan kekuasaan, kita fokus kepada orang lain, alih-alih fokus mengurus dirinya sendiri. kekuasaan dapat bertahan apabila saat menjalankan kekuasaan kita memngembangkan kemampuan berempati, lebih memberi bukan menerima, mengekspresikan rasa terima kasih, dan membangun narasi yang menyatukan. Untuk menghindari paradoks kekuasaan, kita perlu tahu bagaimana kekuasaan dapat bertahan.
- Bagaimana kekuasaan disalahgunakan. Menurut Keltner, kekuasaan rentan disalahgunakan karena kekuasaan bersifat menggoda. Kekuasaan dapat membuat kita menjadi defisit empati dan moral; membuat terus menerus memikirkan kepentingan diri sendiri; membuat tidak ramah dan tidak hormat pada orang lain; membuat kita membangun narasi-narasi yang membuat satu kelompok lebih istimewa atas yang lain. Untuk menghindari paradoks kekuasaan, kita perlu tahu bagaimana kekuasaan disalahgunakan.
- Hati-hati terhadap ketidakberdayaan. Paradoks kekuasaan dapat terjadi apabila masyarakat merasa tidak berdaya. Ketidakberdayaan yang dirasakan oleh orang-orang dapat menurunkan kemampuan mereka dalam berkontribusi terhadap maayarakat. “Orang yang merasa tidak berdaya,” menurut Keltner, “cenderung lebih jarang berbicara, terkekang dalam ekspresi mereka, dan ragu-ragu dalam mengambil tindakan.” Ketidakberdayaan melanggengkan jalan menuju paradoks kekuasaan.