Sumber: medium.com/@thepersonsproject

Rubah dan Bangau: Pelajaran Mengenai Perbedaan Cara Berpikir

Suatu hari, rubah memikirkan rencana untuk menghibur diri dengan mengorbankan bangau, yang penampilan anehnya selalu membuatnya tertawa.

“Kau harus ikut makan malam denganku hari ini,” katanya kepada bangau, sambil tersenyum membayangkan tipuan yang akan dilakukannya. Bangau dengan senang hati menerima undangan itu dan tiba tepat waktu dengan nafsu makan yang sangat besar.

Untuk makan malam, rubah menyajikan sup. Namun, sup itu disajikan di piring yang sangat dangkal, dan Bangau hanya bisa membasahi ujung paruhnya. Setetes sup pun tak berhasil ia dapat. Namun, rubah melahapnya dengan mudah, dan, untuk menambah kekecewaan bangau, ia menunjukkan kegembiraan yang luar biasa karena telah menyantap makanan yang lezat.

Sumber: studycat.com

Bangau yang lapar sangat tidak senang dengan tipuan itu, tetapi ia adalah orang yang berwatak tenang dan mampu menahan amarah. Tak lama kemudian, ia mengundang rubah untuk makan malam bersamanya. Rubah tiba tepat waktu sesuai yang telah ditentukan, dan bangau menyajikan makan malam ikan yang aromanya sangat menggugah selera. Namun, makanan itu disajikan dalam toples tinggi berleher sangat sempit. Bangau dapat dengan mudah meraih makanan itu dengan paruhnya yang panjang, tetapi rubah hanya bisa menjilati bagian luar toples dan mengendus aroma lezatnya. Dan ketika rubah kehilangan kesabarannya, bangau berkata dengan tenang, “Jangan mempermainkan tetanggamu kecuali kau sendiri tahan diperlakukan sama.”

Sumber: studycat.com

Pelajaran utama dari kisah di atas adalah bahwa kita sepatutnya memperlakukan orang lain secara fair. Hukum resiprositas dalam interaksi sosial dalam kisah ini berlaku, bahwa jika kita memperlakukan orang lain secara fair, orang lain akan berlaku fair juga kepada kita, demikian juga sebaliknya. Dalam perspekif Teori Pondasi Moral, kita punya kemampuan bawaan dalam menumbuhkan nilai-nilai keadilan (domain Keadilan/Kecurangan) dalam diri kita, dan kemampuan itu dipelajari saat kita berinteraksi dengan orang lain.

Bagaimana agar kita bisa bertindak secara fair atau adil atas orang lain? Salah satunya adalah, sebagaimana diajarkan bangau kepada rubah, kemampuan dalam memahami perspektif atau sudut pandang orang lain.  Apabila kita memahami bahwa orang lain punya sudut pandang yang berbeda dengan kita, tidak adil kiranya apabila kita memperlakukan orang lain dengan sudut pandang kita sendiri. Maka, agar kita dapat berlaku adil, apalagi berpikir adil atas orang lain (sebagaimana kata sastrawan Pramoedya Ananta Toer, seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran), penting kiranya kita memahami bahwa cara orang-orang dalam berpikir itu berbeda-beda.

Berbedaan dalam cara berpikir sepatutnya dihargai karena ternyata cara orang-orang berpikir dipengaruhi oleh lingkungan sosial-budaya di mana ia tinggal, dan kebanyakan orang tidak bisa leluasa memilih di lingkungan sosial-budaya mana ia akan menetap dan menghabiskan sisa hidupnya. “Jika memungkinkan untuk menghasilkan perubahan yang signifikan dalam cara berpikir orang dewasa,” terang ilmuwan psikologi sosial dari Universitas Michigan Richard E. Nisbett, “tentu saja tampak mungkin bahwa indoktrinasi ke dalam kebiasaan berpikir yang khas sejak lahir dapat mengakibatkan perbedaan budaya yang sangat besar dalam kebiasaan berpikir.”

Mula-mula Nisbett berpandangan bahwa semua manusia di dunia mempersepsi dan menalar dengan cara yang sama. Namun dari hasil-hasil temuan penelitiannya sendiri ia menyimpulkan bahwa orang-orang di dunia berpikir secara berbeda. Orang-orang yang tinggal di belahan dunia Barat punya orientasi berpikir Barat dan orang-orang yang tinggal di belahan dunia Timur punya orientasi berpikir Timur. Dalam bukunya, The Geography of Thought: How Asians and Westerners Think Differently…and Why, Nisbet menjelaskan,

My research has led me to the conviction that two utterly different approaches to the world have maintained themselves for thousands of years. These approaches include profoundly different social relations, views about the nature of the world, and characteristic thought processes. Each of these orientations — the Western and the Eastern — is a self – reinforcing, homeostatic system. The social practices promote the worldviews; the worldviews dictate the appropriate thought processes; and the thought processes both justify the worldviews and support the social practices.

Penelitian saya telah membawa saya pada keyakinan bahwa dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap dunia telah bertahan selama ribuan tahun. Pendekatan-pendekatan ini mencakup hubungan sosial yang sangat berbeda, pandangan tentang hakikat dunia, dan proses berpikir yang khas. Masing-masing orientasi ini—Barat dan Timur—merupakan sistem homeostatis yang saling memperkuat. Praktik sosial mempromosikan pandangan dunia; pandangan dunia mendikte proses berpikir yang tepat; dan proses berpikir membenarkan pandangan dunia sekaligus mendukung praktik sosial.

Dalam bukunya tersebut, Nisbett menyajikan argumentasi yang komprehensif bahwa sistem persepsi dan pemikiran yang sangat berbeda itu ada dan telah ada selama ribuan tahun dengan mengacu pada bukti historis dan filosofis, serta penelitian ilmu sosial modern, termasuk etnografi, survei, dan penelitian laboratorium. Nisbett berargumen bahwa dua sistem pemikiran yang berbeda itu berakar dari pengaruh filsuf Aristoteles (cara berpikir Barat) dan filsuf Konfusius (cara Berpikir Timur) yang berperan dalam memperkuat kebiasaan berpikir yang sudah menjadi ciri khas di masyarakat masing-masing. Nisbett juga menunjukkan bahwa perbedaan praktik sosial yang ditemukan dalam masyarakat modern cenderung mempertahankan atau bahkan menciptakan pola-pola yang berbeda tersebut. Dalam bukunya tersebut Nisbett juga menunjukkan bahwa keyakinan mendasar tentang hakikat dunia, serta cara mempersepsi dan bernalar tentangnya, sangat berbeda di antara masyarakat modern. Bukti tersebut sebagian besar didasarkan pada penelitian laboratorium yang telah dilakukan oleh Nisbett bersama mahasiswa dan koleganya menggunakan berbagai tes untuk menguji bagaimana orang mempersepsi, mengingat, dan berpikir.

Salah satu perbedaan penting dan mendasar mengenai bagaimana cara berpikir orang Barat dan Timur adalah bahwa orang Barat berpikir secara analitis sedangkan orang Timur berpikir secara holistik. Menurut Nisbett, “Orang Barat mempunyai pandangan analitis yang berfokus pada objek menonjol dan atributnya, sedangkan orang Timur mempunyai pandangan holistik yang berfokus pada kesinambungan substansi dan relasinya dalam lingkungan.

Untuk memahami bagaimana perbedaan cara pandang analitis dan holistik ada pada orang Barat dan Timur, disajikan di bawah ini dua pengertian perusahaan dan pilihlah mana yang menurut Anda tepat.

(a) Perusahaan adalah suatu sistem yang dirancang untuk menjalankan fungsi dan tugas secara efisien. Orang-orang dipekerjakan untuk menjalankan fungsi-fungsi ini dengan bantuan mesin dan peralatan lainnya. Mereka dibayar atas tugas yang mereka lakukan.

(b) Perusahaan adalah sekelompok orang yang bekerja sama. Orang-orang tersebut memiliki hubungan sosial dengan orang lain dan dengan organisasi. Fungsinya bergantung pada hubungan-hubungan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, jika pilihan Anda adalah (a), Anda sama dengan kebanyakan orang Barat dalam melihat perusahaan. Dalam pandangan orang Barat yang analitis, perusahaan adalah tempat yang bersifat atomistik di mana orang-orang menjalankan fungsi bagian-bagiannya yang khas. Jika jawaban Anda adalah (b), Anda sama dengan orang Timur yang holistik yang memandang perusahaan sebagai organisme di mana hubungan sosial merupakan bagian integral dari apa yang menyatukan segala sesuatunya.

Perbedaan cara pandang ini juga membuat orang Barat dan Timur berbeda dalam memandang suatu objek. Cara pandang orang Barat yang analitis membuat mereka melihat suatu objek secara kategoris, khas cara pandang intelektual Yunani kuno yang biasa menggolongkan objek-objek dalam kategori-kategori tertentu. Cara pandang orang Timur yang holistik membuat mereka melihat suatu objek secara relasional, khas cara pandang intelektual Cina kuno. Untuk menunjukkan apakah Anda punya cara pandang kategoris atau relasional, perhatikan gambar berikut ini.

Dalam Geography of Thought, hlm 141

Menurut Anda, sapi lebih dekat dengan mana, ayam atau rumput?

Jika Anda memilih rumput, Anda berpikir secara relasional khas orang Timur. Sapi dekat dengan rumput karena sapi punya hubungan relasional dengan rumput: sapi makan rumput.  Jika Anda memilih ayam, Anda berpikir kategoris khas orang Barat. Sapi dekat dengan ayam karena sapi dan ayam berada dalam kategori yang sama: sama-sama hewan. Gambar tersebut digunakan dalam penelitian psikologi yang melibatkan anak-anak dari Amerika dan China dan didapatkan bahwa anak-anak Amerika lebih mengelompokkan objek-objek secara kategoris (sapi dan ayam dalam kategori hewan) dan anak-anak China lebih mengelompokkan objek-objek secara relasional (sapi makan rumput).

Dalam penelitian serupa yang melibatkan responden dari Amerika dan China, namun tidak menggunakan gambar, hanya kata-kata, didapatkan hasil yang mirip. Nisbett dan koleganya memberikan kepada responden tiga kata (misalnya, panda, monyet, dan pisang) dan meminta mereka untuk menunjukkan dua dari tiga kata tersebut yang paling dekat hubungannya. Responden Amerika menunjukkan kecenderungan mengelompokkan berdasarkan kategori: panda dan monyet termasuk dalam kategori hewan. Responden China menunjukkan kecenderungan mengelompokkan berdasarkan hubungan yang bersifat relasional: monyet makan pisang.

Selain itu, cara pandang yang berbeda antara orang Barat dan orang Timur dapat ditemukan antara lain pada hal-hal berikut ini:

  1. Dalam mempersepsi sesuatu, orang barat lebih perhatian terhadap figur, pokok, atau tokoh; orang Timur lebih perhatian pada latar belakang atau konteks. Sehingga orang Barat lebih independen terhadap konteks, sedangkan orang Timur lebih dependen terhadap konteks. Menurut Nisbett, Orang Asia melihat gambaran besar dan mereka melihat objek dalam kaitannya dengan lingkungan mereka, sedemikian rupa sehingga sulit bagi mereka untuk memisahkan objek secara visual dari lingkungan mereka. Orang Barat berfokus pada objek sambil mengabaikan bidang tersebut dan mereka benar-benar melihat lebih sedikit objek dan hubungannya dalam lingkungan daripada orang Asia.
  2. Terkait keyakinannya dalam mengendalikan sesuatu, orang Barat lebih merasa yakin bahwa dirinya dapat mengendalikan hidupnya (personal control). Sementara orang Timur meyakini hasil atas segala sesuai dapat dicapai kalau bersama-sama dengan orang lain yang membantunya untuk mengontrol (collective control).
  3. Mengenai perubahan, orang Barat berpikir perubahan bersifat linear, sedangkan orang Timur berpikir perubahan bersifat siklus. Menurut Nisbett, orang Asia percaya bahwa dunia ini penuh dengan perubahan dan apa pun yang terjadi akan terjadi lagi, sementara orang Barat percaya bahwa apa pun perubahan yang meningkat tidak perlu turun.
  4. Dalam mengatribusikan perilaku orang lain, orang Barat mengatribusikan sebab perilaku orang lain adalah diri orang itu sendiri, sedangkan orang Timur mengatribusikan sebab perilaku orang lain adalah konteks atau lingkungan di mana orang tersebut berada. “Tidak mengherankan jika orang Amerika menganggap kepribadian relatif tetap, sementara orang Asia menganggapnya lebih fleksibel,” ungkap Nisbett, “Hal ini sejalan dengan tradisi panjang Barat yang menganggap dunia sebagian besar statis, dan tradisi panjang Timur yang memandang dunia sebagai sesuatu yang terus berubah.”

Bagaimana konsekuensi cara pandang yang berbeda antara orang Barat dan Timur ini? Nisbett menjelaskan bahwa terdapat banyak bidang kehidupan di mana orang Barat dan Timur berpikir dan berperilaku sangat berbeda, dan perbedaan ini dipahami dengan baik dalam konteks pemikiran analitis vs. holistik. Nisbett menjelaskan bahwa cara pandang yang berbeda ini ada dalam, antara lain, cara orang Barat dan Timur memandang pengobatan, debat, menulis artikel ilmiah, Hak Asasi Manusia (HAM), dan agama.

Bagaimana kita menganggapi perbedaan cara pandangan ini dan bagaimana relasi antar-budaya dijalin dalam masyarakat yang mengglobal seperti saat ini dan di masa depan? Nisbett memberi saran,

Ethnic diversity has been acclaimed for all sorts of reasons, among them that educational and work environments are enriched by having people of different backgrounds. Our work does strongly support the contention that diverse views should be helpful for problem solving. The cognitive orientations and skills of East Asians and people of European cultures are sufficiently different that it seems highly likely that they would complement and enrich one another in any given setting. We would expect that for most problems one would be better off having a mix of people from different cultures than having people who are all from one culture.

Keberagaman etnis telah diakui karena berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa lingkungan pendidikan dan kerja diperkaya dengan adanya orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Penelitian kami sangat mendukung pendapat bahwa pandangan yang beragam seharusnya membantu dalam pemecahan masalah. Orientasi dan keterampilan kognitif orang Asia Timur dan orang-orang dari budaya Eropa cukup berbeda sehingga tampaknya sangat mungkin mereka akan saling melengkapi dan memperkaya dalam situasi apa pun. Kami menduga bahwa untuk sebagian besar masalah, akan lebih baik jika terdapat campuran orang-orang dari budaya yang berbeda daripada orang-orang yang semuanya berasal dari satu budaya.

Sementara itu, menurut Bernard Marr, seorang futuris, influencer, dan penasihat perusahaan teknologi, kecerdasan budaya dan kesadaran atas perbedaan menjadi satu dari 20 keterampilan yang dibutuhkan di era digital.

 

 

Similar Posts