Teori Determinasi-Diri
Teori Determinasi-Diri atau Self-Determination Theory (SDT) berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia memiliki sejumlah fitur yang positif dan gigih. Manusia memiliki rasa ingin tahu, vitalitas dan motivasi diri. Manusia mampu menjadi agen, mampu mengembangkan diri, mampu berjuang untuk belajar, mampu menguasai keterampilan baru, dan mampu menggunakan bakatnya dengan baik. Manusia mampu menunjukkan upaya dan komitmen yang besar terhadap kehidupan mereka.
Namun, menurut SDT, semangat manusia dapat berkurang atau hancur dan bahwa individu terkadang menolak pertumbuhan dan tanggung jawab. Kecenderungan manusia yang gigih, proaktif, dan positif dari sifat manusia tidak selalu muncul. Manusia bisa aktif juga bisa pasif; bisa rajin tapi juga bisa malas. Kecenderungan yang berbeda-beda ini, menurut SDT, disebabkan oleh bukan sekedar perbedaan disposisional dan bawaan biologis. Menurut SDT, konteks sosial berperan penting dalam mengkatalisasi perbedaan motivasi dan pertumbuhan pribadi yang mengakibatkan orang menjadi lebih termotivasi, bersemangat, dan terintegrasi dalam beberapa situasi dibandingkan yang lain. Menurut SDT, pengetahuan kita mengenai kondisi yang mendorong maupun yang melemahkan potensi positif manusia dipandang penting secara teoretis maupun praktis karena dapat berkontribusi tidak hanya pada pengetahuan mengenai penyebab perilaku manusia, tetapi juga pada bagaimana kita dapat merancang lingkungan sosial yang mengoptimalkan perkembangan, kinerja, dan kesejahteraan manusia.
Richard M. Ryan and Edward L. Deci dari University of Rochester l, dua tokoh yang mengembangkan teori ini menjelaskan mengenai SDT dalam artikel mereka berjudul Self-Determination Theory and the Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development, and Well-Being sebagai berikut:
SDT adalah pendekatan terhadap motivasi dan kepribadian manusia yang menggunakan metode empiris tradisional dengan tetap menerapkan metateori organisme yang menyoroti pentingnya sumber daya batin manusia yang telah berevolusi untuk pengembangan kepribadian dan pengaturan diri terhadap perilaku. Dengan demikian, bidangnya adalah investigasi terhadap kecenderungan pertumbuhan inheren dan kebutuhan psikologis bawaan manusia yang menjadi dasar motivasi diri dan integrasi kepribadian mereka, serta kondisi yang mendorong proses-proses positif tersebut. Secara induktif, dengan menggunakan proses empiris, kami telah mengidentifikasi tiga kebutuhan tersebut—kebutuhan akan kompetensi, keterhubungan, dan otonomi—yang tampaknya penting untuk memfasilitasi fungsi optimal dari kecenderungan alami untuk tumbuh dan berintegrasi, serta untuk perkembangan sosial yang konstruktif dan kesejahteraan pribadi.
Ryan dan Deci dalam buku mereka berjudul Self-Determination Theory menjelaskan kebutuhan sebagai berikut:
Dalam SDT, kebutuhan didefinisikan secara spesifik sebagai nutrisi yang esensial untuk pertumbuhan, integritas, dan kesejahteraan. Dengan demikian, kebutuhan fisiologis dasar berkaitan dengan nutrisi yang dibutuhkan untuk kesehatan dan keselamatan tubuh, dan mencakup kebutuhan seperti oksigen, air bersih, nutrisi yang cukup, dan bebas dari bahaya fisik. Selain kebutuhan fisik tersebut, SDT berpendapat bahwa terdapat juga kebutuhan psikologis dasar yang harus dipenuhi agar minat, perkembangan, dan kesejahteraan psikologis dapat dipertahankan.
SDT mengkaji mengenai kebutuhan dasar manusia yang memungkinkan mencapai potensi dirinya, atau sebaliknya, tidak mencapai potensi dirinya jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Dalam kajian tentang kebutuhan manusia, ada yang menitikberatkan kepada kebutuhan fisiologis dan ada yang menitikberatkan pada kebutuhan psikologis. SDT lebih menitikberatkan pada kebutuhan yang bersifat psikologis. Sebagaimana disebutkan di atas, SDT berpandangan bahwa manusia memiliki tiga kebutuhan psikologis dasar berupa otonomi, kompetensi, dan keterhubungan.
1. Otonomi (Autonomy)
Terkait kebutuhan ini, Ryan dan Deci menjelaskan,
Kebutuhan dasar pertama yang dijelaskan dalam SDT adalah otonomi, atau kebutuhan untuk mengatur sendiri pengalaman dan tindakan seseorang. Otonomi adalah bentuk fungsi yang terkait dengan perasaan kehendak, kongruen, dan terintegrasi. Otonomi yang dianggap sebagai rasa kesukarelaan ini, oleh karena itu, tidak sama dengan kemandirian (atau kepercayaan diri), karena orang dapat bergantung secara otonom atau heteronom, independen, atau saling bergantung tergantung pada konteks dan perilaku yang ditimbulkan. Ciri khas otonomi adalah bahwa perilaku seseorang didukung oleh diri sendiri, atau kongruen dengan minat dan nilai-nilai autentiknya. Ketika bertindak dengan otonomi, perilaku dilakukan dengan sepenuh hati, sedangkan seseorang mengalami ketidaksesuaian dan konflik ketika melakukan apa yang bertentangan dengan kehendaknya. Dalam pandangan SDT, hanya beberapa tindakan intensional yang benar-benar mengatur diri sendiri atau otonom—yang lainnya diatur oleh kekuatan eksternal atau oleh aspek-aspek kepribadian seseorang yang relatif tidak terintegrasi. Dengan demikian, seseorang dapat berperilaku tanpa rasa kehendak atau dukungan diri atas tindakannya. Diri, dalam pengertian ini, tidak identik dengan pribadi. Bahkan, kami akan menunjukkan bahwa banyak perilaku dan ekspresi nilai seseorang dapat diprakarsai dan/atau diatur oleh tekanan internal atau eksternal yang mengesampingkan atau mengabaikan pengaturan diri yang sebenarnya.
2. Kompetensi (Competence)
Terkait kebutuhan ini, Ryan dan Deci menjelaskan,
Kompetensi merupakan salah satu isu yang paling banyak diteliti dalam psikologi dan secara luas dipandang sebagai elemen inti dalam tindakan yang termotivasi. Dalam SDT, kompetensi mengacu pada kebutuhan dasar kita untuk merasakan efektivitas dan penguasaan. Orang perlu merasa mampu beroperasi secara efektif dalam konteks kehidupan mereka yang penting. Kebutuhan akan kompetensi terbukti sebagai upaya yang inheren, terwujud dalam rasa ingin tahu, manipulasi, dan berbagai motif epistemik. Hal ini memberi energi pada berbagai perilaku, mulai dari orang-orang di waktu luang yang bermain gim video seluler hingga ilmuwan yang menemukan hukum alam semesta. Namun, kompetensi mudah digagalkan. Ia memudar dalam konteks di mana tantangan terlalu sulit, umpan balik negatif merajalela, atau perasaan penguasaan dan efektivitas berkurang atau dirusak oleh faktor-faktor interpersonal seperti kritik yang berfokus pada orang dan perbandingan sosial.
3. Keterhubungan (Relatedness)
Terkait kebutuhan ini, Ryan dan Deci menjelaskan,
Keterhubungan berkaitan dengan perasaan terhubung secara sosial. Orang-orang paling sering merasakan keterkaitan ketika mereka merasa diperhatikan oleh orang lain. Namun, keterkaitan juga tentang rasa memiliki dan merasa penting di antara orang lain. Dengan demikian, yang sama pentingnya dengan keterkaitan adalah merasakan diri sendiri sebagai pihak yang memberi atau berkontribusi kepada orang lain. Keterkaitan juga berkaitan dengan rasa menjadi bagian integral dari organisasi sosial di luar diri sendiri… Artinya, baik dengan merasa terhubung dengan orang lain yang dekat maupun dengan menjadi anggota penting dalam kelompok sosial, orang-orang mengalami keterkaitan dan rasa memiliki, misalnya melalui kontribusi kepada kelompok atau menunjukkan kebaikan.

Mengenai Self-Determination Theory dan tiga kebutuhan psikologis dasar manusia dijelaskan oleh Edward L. Deci dalam video ringkas berikut ini.
Bagaimana Determinasi-Diri diukur? Determinasi-Diri diukur menggunakan Skala Determinasi-Diri (Self-Determination Scale) yang dikembangkan oleh Sheldon dan Deci (1993). Skala tersebut telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh D. Muttaqin dalam artikel berjudul Validitas Struktur Internal Self-Determination Scale versi Indonesia: Pengujian Struktur Faktor, Reliabilitas, dan Invariansi Pengukuran.
SDT dapat menjelaskan sejumlah fenomena psikologis, di antaranya Fear of Missing Out (FoMO).