Slamet Iman Santoso yang Jenaka

Semua mahasiswa psikologi tahun pertama mengenal Sigmund Freud, namun tidak semua mengenal Slamet Iman Santoso. Mungkin sebagai perkecualian mahasiswa psikologi Universitas Indonesia (UI) karena beliau adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakutas Psikologi UI. Saya yang dahulu berkuliah di Yogyakarta hanya lamat-malat mendengar namanya.

Untuk mengenal beliau, mahasiswa bisa membaca biodata singkat di Wikipedia berjudul Slamet Iman Santoso. Ulasan mengenai beliau yang ditulis untuk pembaca umum dapat dibaca dalam artikel Masa Muda Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia. Kajian yang dituang dengan bahasa semi-populer dapat dibaca dalam artikel berjudul The Right Man in the Right Place, and in the Right Time: Slamet Iman Santoso. Untuk mengenal lebih dalam biografi yang ditulis beliau sendiri, mahasiswa dapat membaca bukunya yang diterbitkan dalam rangka perayaan ulang tahun beliau ke-85 berjudul Warna-warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso (1992).

Dalam tulisan ini saya akan mengutip cerita-cerita yang dikisahkan beliau sendiri di bukunya itu yang menunjukkan betapa jenakanya beliau. Dari kisah yang dituangkannya di buku tersebut kita tahu kalau beliau sudah jenaka sejak kecil. Berikut ini cerita beliau saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Pada waktu saya masih duduk di Sekolah Dasar, banyak anak mempunyai piaraan burung gelatik, yang dibeli dari penjual burung. Mula-mula gelatik diiket, dilepas, dikasih makan. Lama-lama menjadi jinak. Kalau dilepas, selalu bisa kembali pada pemiliknya. Untung sekali gelatik saya, bisa dilepas paling jauh, tapi kembali lagi. Semua anak mengetahuinya.

Sengsaranya, pada suatu hari gelatik saya mati, disamber beberapa tawon baluh. Maka sejumlah anak sepakat untuk mengubur gelatik mati tadi dengan upacara seperti mengubur manusia mati. Yang depan bikin pikulan untuk mikul, lainnya berbaris, ada yang menangis-nangis, yang lain terus-menerus tahlilan, Lailaha illallah, diiringi lagu ritmis.

Maka orang dewasa pada keluar, bertanya, “Ada apa bocah-bocah kok tahlilan?”Jawabannya, “Mengubur gelatiknya Den Slamet!” Tentunya jadi ramai, pada ketawa sambil geleng-geleng kepala.

Bocah-bocah ana-ana wae gaweane!”  

Melalui penggalan kisah di buku tersebut, beliau bercerita mengenai suasana belajar di kelas waktu menempuh pendidikan SMA di Yogyakarta berikut ini.

Guru biologi sedang sibuk menggambar di papan tulis, sambil memberikan keterangan lisan; rupa-rupanya ia sangat memusatkan pikiran pada pekerjaannya. Diam-diam saya jongkok di depan jendela, sambil melihat-lihat ke arah Gunung Kidul. Tidak lama kemudian—seperti yang sudah saya duga semula—sejumlah murid lain sudah berkumpul sekitar saya, melongok-longok ke arah Gunung Kidul, sambil bertanya-tanya, “Ada apa, sih?” Diam-diam saya kembali ke bangku, dan menyibukkan diri dengan menulis lagi.

Tiba-tiba guru membalikkan badan dan memergoki sejumlah murid berkumpul di depan jendela. Mereka ditegur, disuruh kembali duduk di bangku, kemudian mendapat hukuman. Saya bebas dari hukuman. Tetapi, keesokan harinya kepala saya dijitak oleh kawan-kawan yang dihukum. Namun, bagaimanapun kawan tetap kawan. Kami tetap kompak.

Kejenakaan beliau masih awet sampai beliau dewasa, salah satunya kisah berikut ini.

Pada suatu saat, saya berada di kawasan Harmoni [sekarang Hayam Wuruk-Gajah Mada], rame sekali. Ada toko penjual plaat gramaphoon [piringan hitam], mengadakan obral. Tidak boleh dicoba. Kalau mau beli, hanya boleh membaca etiketnya saja. Dalam keramaian tadi, saya bilang sama kawan saya: “Lihat, akan saya buktikan, bahwa manusia itu sebenarnya sama dengan monyet!”

Saya pun mengambil satu plaat gramaphoon, dan saya tempelkan di kuping. Langsung beberapa orang mengikuti perbuatan saya, mendengarkan plaat. Setelah beberapa waktu baru sadar, melu-malu memandang saya. Itulah yang disebut mass psychology: kesadaran menurun, lantas niru saja!

Bahkan saat mengurus kepentingan masyarakat luas pun, beliau tetap jenaka. Ringkasnya, beliau mendapat tugas mengurus Resimen Mahasiswa (Menwa) di Jakarta sekitar tahun1960an. Sesungguhnya saat itu beliau tidak setuju semua mahasiswa dilatih militer karena mahasiswa juga perlu dilatih kemampuan lain seperti sosial, medis, dan logistik. Karena ada banyak mahasiswa di Jakarta (saat itu ada 25 ribu mahasiswa) dan tidak mungkin dilatih bersamaan, beliau mengajukan diri kepada komandan militer di Jakarta untuk menyeleksi sendiri mahasiswa yang akan ikut pelatihan. Salah satu kriterianya adalah mahasiswa tidak boleh berkacamata. Dengan kriteria itu, saat dilakukan proses seleksi beliau tertawa geli karena ada kacamata yang berpindah-pindah akibat dipinjam mahasiswa yang sebenarnya tidak perlu kacamata namun berkacamata demi tidak lolos seleksi. Dengan proses seleksi ini, hanya ada 450 dari 25 ribu mahasiswa yang tersaring untuk dilatih kemiliteran. Saat hari peresmian latihan, pejabat tinggi yang hadir merasa puas dan seperti tidak ada kejanggalan apa-apa. Beliau sekali lagi dibuat geli karena berhasil ‘mengelabui’ atasan.

Jadi, wahai mahasiswa psikologi, sembari belajar Ilmu Psikologi, jangan lupa rawat kejenakaan dalam diri kita sebagaimana Slamet Iman Santoso merawatnya sejak kecil hingga dewasa.

Similar Posts