Tiga Soal yang Menunjukkan Betapa Mudahnya Kita Termakan Hoaks

Share this:

Pada suatu kesempatan, saya menanyakan tiga soal ini kepada sejumlah guru. Jawaban para guru terhadap ketiga soal ini membuat saya mengambil kesimpulan bahwa betapa mudahnya pikiran kita terkecoh oleh berita hoaks.

Soal pertama.

Belum lama ini, Menteri Agama mengatakan bahwa kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadilah pedagang. Menteri Agama telah meminta maaf atas pernyataan ini. Tanpa bermaksud memperpanjang persoalan, saya mengajak para guru untuk membayangkan seandainya menjadi seorang pedagang melalui soal berikut ini.

Perhatikan gambar di bawah ini. Jika Anda akan membuka warung kopi, meja mana yang akan Anda gunakan agar bisa menampung lebih banyak pelanggan?

Sebagian besar guru menjawab meja yang menampung lebih banyak pelanggan adalah meja sebelah kiri. Para guru menilai meja sebelah kiri lebih panjang sehingga lebih banyak kursi yang dapat disediakan. Namun apakah benar meja sebelah kiri lebih panjang dari meja sebelah kanan? Jika jawaban Anda ya, maka sesungguhnya Anda telah tertipu, bukan oleh pembuat soal ini tapi oleh pikiran Anda sendiri. Omong-omong, pembuat soal ini adalah seorang ilmuwan psikologi kognitif yang juga seorang seniman bernama Roger N. Shepard dan ilusi meja ini dikenal dengan Shepard tables.

Kita menggunakan cara berpikir cepat dengan mengandalkan pandangan kasat mata dan segera menyimpulkan bahwa meja sebelah kiri lebih panjang dari pada meja sebelah kanan. Untuk mengetahui jawaban sebenarnya sembari berusaha untuk tidak tertipu oleh pikiran kita sendiri, kita bisa mengambil penggaris dan mengukur panjang dan lebar permukaan kedua meja tersebut, dan didapatkan hasil bahwa kedua meja ini….. panjang dan lebarnya sama!

Pikiran kita mudah tertipu bahkan dari hanya tampilan gambar yang dapat ditangkap oleh mata telanjang. Kalau hanya dengan gambar sederhana ini saja pikiran kita mudah tertipu, bagaimana dengan gambar yang dibubuhi narasi yang memancing emosi? Bagaimana dengan berita yang didukung oleh bukti-bukti yang terkesan meyakinkan? Bagaimana dengan video yang dibuat dengan bantuan Artificial Intelligence (AI) sehingga terkesan sebagai video yang sesungguhnya?

Soal kedua.

Hidup di era digital saat ini membuat kita kerap menilai berdasarkan penilaian yang dilakukan secara cepat. Kita tidak punya banyak waktu untuk menimbang-nimbang secara akurat karena kita terbiasa dengan berpikir cepat mengenai suatu peristiwa, orang lain, atau isu tertentu seperti dalam soal berikut ini.

Anda punya seorang tetangga baru. Anda belum berkenalan dengannya namun dalam seminggu ini Anda tahu kalau dia berkacamata, pendiam, dan suka membaca buku. Siapakah dia?

A. Pustakawan

B. Manager

Sebagian besar guru menjawab A, bahwa tetangga baru dengan karakteristik tersebut adalah seorang pustakawan. Karena hanya mengira-ngira, jawaban kita atas soal ini tidak ada yang sepenuhnya benar. Namun demikian, jawaban kita akan lebih punya kemungkinan besar untuk benar kalau jawabannya adalah B. Mengapa? Karena di kota di mana kita tinggal lebih banyak orang yang bekerja sebagai manager dibandingkan pustakawan, dan orang dengan karakteristik tersebut sesungguhnya tidak terbatas dimiliki oleh pustakawan. Sebuah gedung perkantoran di Jakarta terdiri atas banyak perusahaan, dan satu perusahaan ada beberapa manajer namun mungkin tidak butuh pustakawan seorang pun. Juga, bukankan manager bisa saja berkacamata, pendiam, dan suka membaca buku?

Saat menilai orang lain, kita mengandalkan cara berpikir cepat melalui stereotype tertentu yang telah kita miliki dengan menilai orang melalui representasi atau keterwakilan berdasarkan ciri-ciri tertentu. Dalam menilai peristiwa, orang lain, atau isu tertentu, kita terbiasa mengandalkan cara berpikir cepat bahwa sesuatu atau seseorang memang demikian adanya karena memiliki karakteristik yang representatif yang sudah lama bersemayam dalam pikiran kita tanpa susah payah berpikir lambat dan memeriksa dengan pandangan yang faktual.

Soal ketiga.

Ada banyak informasi yang mengandung hoaks yang mampir di gadget kita, namun informasi yang sudah kita nilai keliru tersebut tidak serta merta kita singkirkan dan hilang dari pikiran kita. Informasi keliru itu masih berpengaruh dalam cara kita menilai dan mengambil keputusan berikutnya, yang berarti pula kita masih rentan termakan hoaks, sebagaimana pada soal berikut ini.

Anda mendapat informasi bahwa usia Mahatma Gandhi adalah 140 tahun.

Berapa sebenarnya usia Gandhi menurut Anda?

Untuk menjawab soal ini kita tidak langsung mengandalkan gadget, jadi hanya perkiraan kita dengan mengandalkan pengetahuan kita yang terbatas mengenai tokoh berpengaruh dari India ini. Kita mungkin menilai bahwa Gandhi berusia 140 tahun itu tidak mungkin. Terlalu tua untuk usia manusia umumnya.

Saat saya menanyakan soal ini, para guru menjawab bervariasi, namun kebanyakan jawabannya menunjukkan bahwa usia Gandhi sangat tua, mendekati usia yang sudah diinfo sebelumnya yakni 140 tahun. Ada yang menjawab 130 tahun, 110 tahun, di bawah 100 tahun, dan 90 tahun. Pada situasi yang kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup, kita mengandalkan informasi sebelumnya sebagai jangkar. Jadi, saat kita mendapat gambar, berita, maupun video yang kita yakin mengandung hoaks, jangan dikira informasi itu akan lenyap begitu saja. Informasi itu akan menjadi jangkar yang mempengaruhi cara kita menilai sesuatu.

Penjelasan lebih rinci mengenai karakteristik dua cara berpikir manusia, yakni berpikir cepat dan berpikir lambat, dapat dibaca dalam artikel Rubah dan Gagak: Pelajaran Mengenai Mengapa Orang Cerdas Bisa Bertindak Bodoh. Untuk membendung penyebaran berita hoaks, kita perlu mengasah sejumlah kecakapan dalam menangkal berita hoaks.

Share this:

Similar Posts