Hambatan Literasi Datang dari Diri Sendiri
“Jangan pernah menunda sampai besok kesenangan yang bisa kamu dapatkan hari ini,” katanya dengan serius.
Aldous Huxley, Brave New World (1932)
Pada hari pertama perkuliahan, saya menanyakan kepada mahasiswa semester tiga di kelas yang saya ampu, “Selama dua semester terakhir, selain buku teks, buku apa yang dibaca bertema psikologi?” Hanya ada 13 mahasiswa yang membaca dari 38 mahasiswa di kelas, sisanya tidak membaca buku apa pun. Hanya sedikit mahasiswa yang secara mandiri membaca buku psikologi di luar buku teks yang memang wajib dibaca untuk kebutuhan perkuliahan.
Ada banyak buku populer di luar sana yang ditulis oleh pakar psikologi di bidangnya yang dapat memperkaya pemahaman buku teks, namun tak banyak mahasiswa saya yang membacanya. Buku-buku tersebut banyak dibaca oleh orang umum yang tidak belajar psikologi di bangku kuliah, namun buku-buku tersebut tidak dibaca oleh mahasiswa saya yang belajar psikologi.
Mungkin mahasiswa saya menghindari baca buku yang sudah dipelajari di bangku kuliah. Di kampus membaca buku psikologi, mestinya di luar kampus membaca buku yang lain, semacam mekanisme wajar atas kebosanan. Namun, ternyata mahasiswa saya tidak baca buku apa pun yang lain.
Saya mengira ada dua sebab mengapa tidak banyak mahasiswa saya yang baca buku.
Pertama, telah lama diketahui bahwa literasi siswa Indonesia rendah. Dari hasil survei PISA tahun 2022 yang diselenggarakan OECD, Indonesia menempati urutan 69 dari 80 negara yang disurvei. Survei yang melibatkan siswa-siswa berusia 15 tahun dalam kemampuan mereka di bidang matematika, membaca, dan sains, didapatkan bahwa Indonesia mendapat skor di bawah rata-rata negara-negara yang disurvei. laporan PISA 2022 dalam bidang membaca menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia masih rendah (kemampuan membaca diperingkati dari level 1 yang paling rendah sampai level 6 yang paling tinggi). Berikut ini laporan PISA 2022 siswa Indonesia,
Sekitar 25% siswa di Indonesia mencapai Level 2 atau lebih tinggi dalam membaca (rata-rata OECD: 74%). Setidaknya, siswa-siswa ini dapat mengidentifikasi gagasan utama dalam teks dengan panjang sedang, menemukan informasi berdasarkan kriteria yang eksplisit, meskipun terkadang rumit, dan dapat merefleksikan tujuan dan bentuk teks ketika secara eksplisit diarahkan untuk melakukannya. Persentase siswa berusia 15 tahun yang mencapai tingkat kemahiran membaca minimum (Level 2 atau lebih tinggi) bervariasi dari 89% di Singapura hingga 8% di Kamboja.
Di Indonesia, hampir tidak ada siswa yang mencapai skor Level 5 atau lebih tinggi dalam membaca (rata-rata OECD: 7%). Siswa-siswa ini dapat memahami teks yang panjang, menangani konsep yang abstrak atau berlawanan dengan intuisi, dan membedakan antara fakta dan opini, berdasarkan isyarat implisit yang berkaitan dengan isi atau sumber informasi.
Sementara siswa di Indonesia hanya ada 25% yang telah mencapai skor membaca Level 2 atau lebih tinggi dan tidak ada yang mencapai skor Level 5 atau 6, negara tetangga kita, Singapura, kemampuan membaca siswanya 89% telah mencapai Level 2 atau lebih tinggi dan ada 23% siswa yang skor membacanya mencapai Level 5 atau 6.
Berikut ini grafik skor PISA Indonesia sejak keikutsertaannya tahun 2003 sampai 2022. Skor Indonesia jauh di bawah rata-rata negara lain.

Bandingkan dengan skor PISA Singapura sejak keikutsertaannya tahun 2009 sampai 2022. Skornya jauh di atas rata-rata negara-negara lain.

Kedua, pada saat literasi siswa Indonesia belum menunjukkan kemajuan, kehadiran teknologi digital memperburuk tradisi literasi. Pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu di media sosial lebih lama dari rata-rata pengguna media sosial di seluruh dunia. Data pada Februari 2025 melaporkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu setiap hari mengakses media sosial rata-rata selama 3 jam 8 menit, lebih lama dari rata-rata waktu menggunakan media sosial di seluruh dunia yakni 2 jam 21 menit.
Masalahnya, kebiasaan membaca buku dengan kebiasaan menggunakan media sosial bukan dua hal yang seiring sejalan. Seringnya menggunakan media sosial tidak berhubungan dengan seringnya membaca buku, demikian juga sebaliknya. Dua hal ini justru mungkin bertolak belakang. Semakin banyak waktu seseorang dalam menggunakan media sosial mungkin membuat semakin sedikit waktu yang digunakan untuk membaca buku.
Hasil survei mengenai Keterampilan Orang Dewasa (Adult Skills) yang diadakan oleh OECD pada tahun 2023 melaporkan bahwa keterampilan literasi dan numerasi di kalangan orang dewasa sebagian besar menurun atau stagnan selama dekade terakhir di sebagian besar negara OECD. Survei juga melaporkan bahwa penurunan ini bahkan lebih besar dan lebih meluas di kalangan orang dewasa berpendidikan rendah. Padahal, orang dewasa yang menggunakan internet lebih banyak. Rata-rata, di seluruh negara OECD, persentase orang dewasa yang menggunakan internet meningkat dari 76% pada tahun 2012 menjadi 93% pada tahun 2023.
Laporan survei tersebut menjelaskan sebagai berikut,
Yang mengkhawatirkan, di semua negara yang disurvei, hampir 20% orang dewasa dianggap berkinerja rendah di semua bidang keterampilan. Mereka kesulitan dengan keterampilan dasar, seperti membaca teks sederhana atau memecahkan soal dan aritmatika dasar.
Separuh negara yang disurvei mengalami peningkatan proporsi orang dewasa yang mencapai tingkat literasi terendah (Level 1 ke bawah), yang berarti mereka hanya dapat memahami teks sederhana dan dasar. Di saat dunia menjadi semakin kompleks, terlalu banyak orang dewasa yang tidak memiliki keterampilan pemahaman bacaan dasar. Masalah ini penting tidak hanya bagi partisipasi ekonomi tetapi juga bagi demokrasi dan keterlibatan politik yang terinformasi, terutama mengingat maraknya misinformasi, berita palsu, dan konten AI yang direkayasa.
Mengapa literasi membaca orang dewasa menurun dibanding satu dekade sebelumnya? Laporan tersebut menjelaskan bahwa mungkin salah satu sebabnya adalah meningkatnya paparan terhadap media digital dan media sosial di masyarakat.
Namun, jika masalahnya adalah paparan terhadap media sosial, bukankah kita sendiri mampu mengendalikan media sosial?
Faktanya, alasan pengguna media sosial di Indonesia menggunakan media sosial, selain untuk terhubung dengan teman dan keluarga, adalah untuk mengisi waktu luang. Alih-alih mengendalikan media sosial, kita justru lebih dikendalikan oleh media sosial. Kita seperti didikte bahwa apapun kesibukan kita, kapan saja ada waktu luang, kita mengisinya dengan berselancar di media sosial.

Kekhawatiran terhadap media sosial yang dapat membajak tradisi literasi saat ini mestinya lebih besar dibandingkan dengan kekhawatiran pendidik dan kritikus media Neil Postman terhadap televisi yang membajak literasi pada zaman kejayaan media ini. Menurut Postman, “Televisi menawarkan beragam subjek kepada pemirsa, hanya membutuhkan keterampilan minimal untuk memahaminya, dan sebagian besar ditujukan untuk kepuasan emosional.” Kekuatan media sosial lebih dari televisi yang digambarkan oleh Postman tersebut. Dibandingkan televisi, media sosial menawarkan lebih banyak ragam subjek kepada penggunanya, lebih minimal keterampilan yang dibutuhkan untuk memahami, dan lebih banyak memberikan untuk kepuasan bagi penggunanya.
Sebagai refleksi, ada baiknya kita melihat bagaimana Postman menyajikan gambaran masyarakat sebagaimana digambarkan oleh dua orang ‘peramal’ masa depan, George Orwell dalam bukunya 1984 dan Aldous Huxley dalam bukunya Brave New World.
Orwell memperingatkan bahwa kita akan ditaklukkan oleh penindasan yang dipaksakan dari luar. Namun dalam visi Huxley, tidak ada Big Brother yang diperlukan untuk merampas otonomi, kedewasaan, dan sejarah manusia. Menurutnya, manusia akan mencintai penindasan yang mereka alami, memuja teknologi yang melemahkan kemampuan berpikir mereka.
Yang ditakutkan Orwell adalah mereka yang akan melarang buku. Yang ditakutkan Huxley adalah tidak akan ada alasan untuk melarang sebuah buku, karena tidak akan ada yang mau membacanya.
Orwell takut pada mereka yang akan merampas informasi kita. Huxley takut pada mereka yang akan memberi kita begitu banyak sehingga kita akan terjerumus ke dalam kepasifan dan egoisme.
Orwell takut kebenaran akan disembunyikan dari kita. Huxley takut kebenaran akan tenggelam dalam lautan ketidakrelevanan.
Orwell takut kita akan menjadi budaya yang tertawan. Huxley takut kita akan menjadi budaya yang remeh, disibukkan dengan sesuatu yang setara dengan perasaan, pesta pora, dan keasyikan sentrifugal.
Dalam 1984, Orwell menambahkan, orang-orang dikendalikan dengan menimbulkan rasa sakit. Dalam Brave New World, mereka dikendalikan dengan menimbulkan kesenangan. Singkatnya, Orwell takut bahwa apa yang kita benci akan menghancurkan kita. Huxley takut bahwa apa yang kita cintai akan menghancurkan kita.
Postman berpendapat bahwa ramalan Huxley, bukan Orwell, yang benar. Tulisan ini hanya catatan kaki dari pendapat Postman tersebut.
Membangun tradisi literasi dapat diawali dengan menumbuhkan kebiasaan berinteraksi dengan buku. Bagi mahasiswa psikologi, ada beberapa buku yang dapat dibaca sebagai langkah awal membangun tradisi literasi.
