Efek Ilusi Kebenaran: Mengapa Pengulangan Membuat Informasi Salah Dinilai Benar?
Iklan-iklan produk komersial diulang terus-menerus sehingga pesan yang salah dinilai benar. Dalam iklannya, Coca-Cola dicitrakan sebagai anak muda yang sehat dan ceria, menutupi akibat yang membuat kita murung karena diabetes dan obesitas. Pinjaman online dicitrakan sebagai solusi cepat masalah keuangan yang aman dan nyaman, menutupi risiko finansial yang berbahaya, dan dapat membuat cemas dan gelisah.
Kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan kebenaran yang bersifat ilusi. Itu dipandang benar tapi sesungguhnya salah. Kita memandangnya sebagai kebenaran karena kita kerap mencerap itu sebagai pernyataan yang diulang terus-menerus sehingga tampak benar, namun sesungguhnya itu hanya ilusi. Dalam psikologi fenomena ini disebut dengan efek ilusi kebenaran (illusory truth effect), yakni bahwa informasi yang diulang seringkali dianggap lebih akurat daripada informasi baru.
Penelitian mengenai efek ilusi kebenaran pertama kali dilakukan oleh Lynn Hasher, David Goldstein, dan Thomas Toppino yang dilaporkan dalam artikel penelitian mereka berjudul Frequency and the Conference of Referential Validity. Dalam eksperimen mereka, partisipan dihadapkan pada 60 daftar pernyataan yang masuk akal dalam 10 bidang, antara lain sejarah, geografi, dan seni. Beberapa di antaranya benar dan beberapa salah. Contoh dua pernyataan dalam bidang seni berbunyi sebagai berikut:
- “Ernest Hemingway menerima hadiah Pulitzer untuk novelnya The Old Man and The Sea” (Benar)
- “Museum terbesar di dunia adalah Louvre di Paris” (Salah).
Partisipan diminta untuk menilai kebenaran setiap pernyataan tersebut sebanyak tiga kali berturut-turut dalam rentang waktu dua minggu. Namun, selama sesi kedua dan ketiga, setengah dari pernyataan telah ditemui partisipan pada sesi sebelumnya, sementara setengah lainnya belum pernah ditemui sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada setiap sesi berikutnya, peserta menilai pernyataan yang diulang dinilai lebih benar daripada yang mereka rasakan pada sesi sebelumnya. Peneliti menyimpulkan bahwa frekuensi kemunculan pernyataan menjadi kriteria yang digunakan oleh partisipan dalam menilai kebenaran suatu pernyataan.

Efek ilusi kebenaran kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari, antara lain dalam bidang periklanan. Salah satu contoh efek ilusi kebenaran dalam bidang periklanan dipaparkan oleh sejarawan Yoval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21 Century. Pada pelajaran ke-17 mengenai post-truth, Harari menjelaskan bahwa perusahaan komersial bergantung pada kekuatan kisah yang bersifat fiktif untuk mencitrakan merek produknya dan dilakukan secara berulang-ulang agar dipandang benar. Harari menulis,
Pencitraan merek seringkali melibatkan penceritaan ulang kisah fiksi yang sama berulang-ulang, hingga orang-orang yakin itu adalah kebenaran. Gambaran apa yang muncul di benak Anda ketika memikirkan Coca-Cola? Apakah Anda membayangkan anak muda yang sehat berolahraga dan bersenang-senang bersama? Atau apakah Anda membayangkan pasien diabetes yang kelebihan berat badan terbaring di ranjang rumah sakit? Minum banyak Coca-Cola tidak akan membuat Anda muda, tidak akan membuat Anda sehat, dan tidak akan membuat Anda atletis—malahan, itu akan meningkatkan risiko Anda menderita obesitas dan diabetes. Namun selama beberapa dekade Coca-Cola telah menginvestasikan miliaran dolar untuk menghubungkan dirinya dengan pemuda, kesehatan, dan olahraga—dan miliaran manusia secara tidak sadar mempercayai hubungan ini.
Jika disigi, ada begitu banyak efek ilusi kebenaran yang datang dari perusahaan komersial yang berupaya membentuk dan mengubah sikap masyarakat terhadap produknya. Hal ini dilakukan semata-mata agar perusahaan mendapat keuntungan dari sikap masyarakat yang positif terhadap produk dan pada akhirnya mau membeli meskipun sesungguhnya produk tersebut tidak memberi manfaat, bahkan justru berdampak negatif bagi konsumen.
“Efek ilusi kebenaran memanfaatkan kelemahan manusia dalam berpikir di mana manusia cenderung kikir kognitif (cognitive miser) dengan cara berpikir cepat.”
Berikut ini beberapa di antara efek ilusi kebenaran:
- Iklan rokok mencitrakan laki-laki yang maskulin, sukses, setia kawan, petualang, penuh stamina, energik, dan kreatif. Padahal jelas-jelas tertera peringatan dalam bungkusnya kalau merokok justru membuat kita mengalami sejumlah gangguan kesehatan seperti kanker mulut, kanker tenggorokan, serangan jantung, dan banyak lagi.
- Iklan makanan olahan nugget, dengan tagline, So Good is very good. Yang benar saja nugged sangat baik? Nugget produk olahan yang tinggi lemak, berpengawet, dan kandungan gizinya rendah.
- Produk kecantikan dalam iklannya menjanjikan wajah putih dalam waktu singkat. Bahkan ada merek produk tertentu menampilkan iklan wajah hitam menjadi putih seketika setelah menggunakan produk tersebut dan akhirnya ditarik iklannya setelah diprotes karena bermuatan rasisme. Padahal menggunakan produk pemutih wajah memiliki efek samping seperti kerusakan kulit bahkan menyebabkan kanker.
- Makanan favorit anak-anak Kinderjoy menampilkan iklan yang menggambarkan keceriaan keluarga muda dan sepulang ke rumah ibunya memberikan hadiah produk ini sebagai apresiasi kebaikan anak-anaknya. Berapa kandungan gula produk makanan mungil ini? Dari 20 gram berat produk ini, separuhnya (10 gram) adalah gula. Padahal, bagi anak-anak, terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung gula dapat menyebabkan kerusakan gigi, penurunan daya ingat dan konsentrasi, obesitas, dan diabetes.
- Dalam berbagai versi iklannya, mie instan Indomie menampilkan keceriaan, kehangatan, kebersamaan, kekeluargaan. Produk ditampilkan dengan ilustrasi yang menggugah selera dengan tagline “Indomie seleraku”. Iklan yang diulang terus menerus membangun pandangan dalam benak konsumen bahwa saat tidak berselera makan maka makanlah indomie. Saat tidak ada makanan di dapur maka masaklah Indomie. Bagaimana tidak lezat, mie instan mengandung MSG dan garam yang tinggi yang membuat jadi enak dan gurih di lidah. Mie instan tinggi kadar karbohidrat dan lemak tetapi rendah kandungan protein, vitamin, dan mineral. Kebenarannya adalah bahwa terlalu banyak mengkonsumsi mie instan memiliki sejumlah risiko di antaranya kekurangan gizi, gangguan pencernaan, gangguan ginjal, dan kanker.
- Minuman berenergi dinarasikan dalam iklannya sebagai cara cepat untuk meningkatkan energi, menghidupkan semangat, menambah performa, dan meraih mimpi. Iklannya mengajak konsumen mengkonsumsi produknya lebih sering, bila perlu setiap hari. Padahal, terlalu banyak mengkonsumsi minuman berenergi dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan seperti gangguan tidur, kecemasan, gangguan ginjal dan jantung.
- Iklan pinjaman online (legal) menjanjikan membantu mengatasi masalah keuangan konsumen secara cepat. Pinjaman online Tunaiku, seperti saya baca di badan gerbong KRL, punya tagline “aman dan nyaman”. AdaKami meminjamkan dana yang “gak bikin kepala bak disambar petir”. Kebenarannya adalah meminjam dana meski legal memiliki sejumlah risiko keuangan seperti beban bunga dan denda kalau jatuh tempo (dendanya bisa mencapai 100 persen dari pinjaman!). Risiko lain, ada tamu yang tidak diharapkan datang ke rumah (dept collector) jika gagal bayar. Belum lagi konsumen akan ditagih dari berbagai penjuru mata angin. Sungguh tidak aman, tidak nyaman, dan lebih dari kepala disambar petir! Tunggu, bukannya konsumen terbantu meminjam dana online untuk tujuan produktif, sebagai modal usaha? Dalam websitenya, produk AdaKami memenuhi “berbagai kebutuhan, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif dengan proses pengajuan cepat dan mudah”. Namun kebanyakan iklannya mempersuasi orang-orang untuk bertindak konsumtif. Bagi mereka, meminjam untuk tujuan produktif atau konsumtif tidak ada urusan asal makin banyak konsumen yang meminjam dana. Mereka seakan peduli dengan masalah keuangan kita tapi sesungguhnya mereka tidak peduli dengan masalah keuangan kita.
- Dan masih banyak lagi.
“Menurut penjelasan kefasihan pemrosesan, ketika informasi diulang, informasi tersebut diproses lebih lancar dan akibatnya dipersepsikan lebih dapat dipercaya.”
Mengapa informasi keliru namun dipapar berulang-ulang cenderung dinilai benar? Salah satu penjelasan yang paling populer adalah apa yang disebut dengan penjelasan kefasihan pemrosesan (the processing fluency account). Dalam artikel berjudul The efects of repetition frequency on the illusory truth effect, Aumyo Hassan dan Sarah J. Barber menjelaskan sebagai berikut:
Kefasihan pemrosesan mengacu pada pengalaman metakognitif berupa kemudahan atau kesulitan yang menyertai suatu proses mental. Menurut penjelasan kefasihan pemrosesan, ketika informasi diulang, informasi tersebut diproses lebih lancar dan akibatnya dipersepsikan lebih dapat dipercaya. Penilaian ini terjadi karena kita telah belajar seiring waktu bahwa kelancaran dapat memprediksi kebenaran. Dukungan untuk penjelasan kefasihan pemrosesan berasal dari penelitian lain yang menunjukkan bahwa ilusi kebenaran dapat terjadi bahkan tanpa pengulangan, sehingga orang menilai informasi yang disajikan dalam font yang mudah dibaca atau ucapan yang mudah dipahami sebagai lebih mudah dipercaya daripada informasi yang disajikan dalam format yang kurang lancar secara perseptual.
Bagaimana agar kita terhindar dari efek ilusi kebenaran? Berikut ini dua cara di antaranya.
- Efek ilusi kebenaran memanfaatkan kelemahan manusia dalam berpikir di mana manusia cenderung kikir kognitif (cognitive miser) dengan cara berpikir cepat atau heuristik. Maka, apabila ada informasi yang kita terima berulang-ulang, mulailah menggunakan cara berpikir lambat dengan mempertanyakan dan menyelidiki mengenai kebenaran informasi tersebut.
- Karena efek ilusi kebenaran membuat banyak orang mempercayai sesuatu sebagai benar padahal keliru, kita perlu menekan kecenderungan kita untuk konformis terhadap tekanan sosial. Kita perlu menjadi pribadi non-konformis terhadap pandangan dan perilaku yang dibangun dari kebenaran ilusi. Misalnya, di tengah gempuran iklan rokok yang mencitrakan merokok sebagai perilaku yang positif, kita tetap bangga menjadi orang yang tidak merokok dan tetap bisa energik, kreatif, dan berpribadi hangat, meski di sekitar kita banyak yang merokok.
Kikir kognitif (cognitive miser) merupakan satu dari empat alasan mengapa orang mudah tertipu. Secara kepribadian manusia juga memiliki kecenderungan untuk mudah dipersuasi yang disebut dengan gullibility. Orang yang memiliki gullibility yang tinggi cenderung mudah dibujuk dan tidak sensitif terhadap isyarat adanya penipuan.
