Orangtua Memegang Kendali: 10 Aturan Mengasuh Anak di Era Digital
Hanya butuh satu alasan sederhana bagi orangtua untuk memberikan smartphone pada anaknya, namun butuh banyak penjelasan yang tidak sederhana apabila anak menghadapi masalah akibat smartphone yang dimiliki.
Mula-mula orangtua memberi anak smartphone untuk memudahkan berkomunikasi dengan orangtua, namun anak menghadapi masalah akibat berkomunikasi dengan orang tidak dikenal melalui smartphone-nya. Mula-mula orangtua memberi smartphone anaknya sebagai hadiah prestasi belajar, namun kemudian anak menurun prestasinya karena smartphone yang dimiliki mengganggunya dalam belajar. Mula-mula orangtua memberi smartphone sebagai cara agar anak tidak rewel, namun anak makin rewel karena tidak mau dilepas dari smartphone.
Ada orangtua yang memberi tablet untuk anaknya yang berusia 2 tahun, yang sedang disapih, karena membantu mengalihkan dari mencari ASI, namun setelah tergantung dengan tablet anak justru tantrum tidak terkendali akibat tidak bisa disapih dari tablet.
Saat memberi smartphone untuk anaknya, orangtua kerap berpikir naif dengan berpandangan bahwa apa yang terjadi pada anak saat diberikan smartphone mestinya sesuai dengan alasan awal orangtua memberikan smartphone. Niat orangtua memberi smartphone untuk membantu berkomunikasi, mestinya hanya itu saja yang akan terjadi, komunikasi dengan anak menjadi mudah. Padahal, dibalik niat baik orangtua, ada banyak bahaya yang ditimbulkan akibat anak memiliki smartphone yang sayangnya tidak dipikirkan oleh orangtua saat pertama kali memberikan smartphone untuk anaknya.
“Orang tua harus menetapkan batasan untuk melindungi anak-anak dan remaja dari diri mereka sendiri.”
Jadi, mengapa sejumlah risiko yang tidak dipikirkan, juga tidak diharapkan, orangtua saat memberikan smartphone untuk anaknya justru malah terjadi? Ini karena saat memberikan smartphone untuk anaknya, orangtua berpikiran dunia akan bekerja sesuai isi kepalanya: hal-hal baik akan terjadi sesuai alasan baik orangtua saat pertama kali memberikan smartphone anaknya. Orangtua tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi akibat memberikan smartphone pada anaknya. Dengan kata lain, orangtua cenderung membiarkan dan tidak memegang kendali atas penggunaan smartphone anaknya.

Maka, untuk melindungi anak dari bahaya akibat penggunaan smartphone, orangtua perlu menegakkan aturan dalam penggunaan smartphone dan anak mesti menjalaninya. Menegakkan aturan penggunaan smartphone penting dalam mengasuh anak di era digital saat ini. Ilmuwan psikologi sosial Jean M. Twenge dalam bukunya 10 Rules for Raising Kids in A High-Tech World berpandangan bahwa aturan penggunaan smartphone penting sebagaimana pemerintah mengatur pembatasan konsumsi alkohol. Hal ini semata-mata untuk melindungi mereka dari ketidakmampuannya menghadapi stimulus yang menimbulkan kecanduan. Twenge menjelaskan,
The government imposing age-gating for buying alcohol helps parents enforce rules around underage drinking. That’s unfortunately not true for devices and social media, but the same principle applies: Parents must set boundaries to protect kids and teens from themselves.
Pembatasan usia pembelian alkohol oleh pemerintah membantu orang tua menegakkan aturan seputar konsumsi alkohol di bawah umur. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk perangkat digital dan media sosial, tetapi prinsipnya sama: Orang tua harus menetapkan batasan untuk melindungi anak-anak dan remaja dari diri mereka sendiri.
Twenge juga menjelaskan bahwa aturan penting karena aplikasi di smartphone memang dikembangkan agar anak kecanduan yang dengan itu perusahan mendapatkan keuntungan. Twenge menulis,
Kids also need rules because social media apps and gaming companies have spent billions of dollars to make their products as addictive as possible. This is why even middle-aged adults spend way too much time on Facebook. Sean Parker, one of Facebook’s founders, said, “It’s a social validation feedback loop… you’re exploiting a vulnerability in human psychology. We understood this, consciously, and we did it anyway.” When Facebook was being developed, he says, the objective was “How do we consume as much of your time and conscious attention as possible?” And that was before social media companies started using algorithms to feed people the content that would keep them tethered to the app.
Anak-anak juga membutuhkan aturan karena aplikasi media sosial dan perusahaan game telah menghabiskan miliaran dolar untuk membuat produk mereka dapat menimbulkan kecanduan. Inilah sebabnya mengapa bahkan orang dewasa paruh baya menghabiskan terlalu banyak waktu di Facebook. Sean Parker, salah satu pendiri Facebook, berkata, “Ini adalah lingkaran umpan balik validasi sosial… Anda mengeksploitasi kerentanan dalam psikologi manusia. Kami memahami ini, secara sadar, dan kami tetap melakukannya.” Ketika Facebook dikembangkan, katanya, tujuannya adalah “Bagaimana kami dapat menghabiskan waktu dan perhatian sadar Anda sebanyak mungkin?” Dan itu sebelum perusahaan media sosial mulai menggunakan algoritma untuk memberi orang konten yang akan membuat mereka tetap terhubung dengan aplikasi.
Melalui bukunya ini, Twenge mengembangkan sepuluh aturan mengasuh anak di era digital.
“Semua aturan tersebut didasarkan pada penelitian, dan penerapannya didasarkan pada pengalaman saya dengan anak-anak saya sendiri dan apa yang saya pelajari dari berbicara dengan ribuan orang tua, guru, dan anak-anak selama kunjungan ke sekolah-sekolah selama delapan tahun terakhir.“
Jean M Twenge
Berikut ini sepuluh aturan dalam mengasuh anak di era digital menurut Twenge.
Aturan 1: Anda yang memegang kendali. Orangtua perlu mengembangkan pola asuh yang efektif di era digital, yaitu pola asuh otoritatif. Melalui pola asuh ini, orangtua menetapkan aturan yang wajar dan menegakkannya, sekaligus bersikap penuh kasih sayang dan empati terhadap kebutuhan anak.
Aturan 2: Dilarang membawa perangkat elektronik di kamar tidur semalaman. Banyak studi menemukan bahwa pada anak-anak, memiliki akses ke perangkat digital di kamar tidur, bahkan jika itu tidak digunakan, dikaitkan dengan tidak cukup waktu tidur dan tidak tidur dengan nyenyak. Ada perangkat digital di tempat tidur semalaman juga membuat anak cenderung mengantuk di siang hari.
Aturan 3: Dilarang menggunakan media sosial hingga usia 16 tahun—atau lebih. Usia 16 tahun dinilai sebagai usia anak dan remaja yang lebih matang. Pada usia ini anak sudah memasuki awal sekolah menengah atas (SMA).
Aturan 4: Ponsel pertama haruslah ponsel standar. Ini adalah ponsel yang dapat menelepon dan mengirim pesan teks tetapi tidak memiliki akses internet atau aplikasi media sosial.
Orangtua perlu mengembangkan pola asuh yang efektif di era digital, yaitu pola asuh otoritatif. Melalui pola asuh ini, orangtua menetapkan aturan yang wajar dan menegakkannya, sekaligus bersikap penuh kasih sayang dan empati terhadap kebutuhan anak.
Aturan 5: Berikan smartphone pertama bersama dengan memberikan Surat Izin Mengemudi (SIM). Di Amerika Serikat usia anak boleh memiliki SIM adalah 16 tahun, kalau di Indonesia 17 tahun. Mestinya orangtua di Indonesia baru memberikan anak smartphone pertama, juga boleh memiliki akun media sosial, ditunda setahun, yakni pada usia 17 tahun.
Aturan 6: Gunakan kontrol orang tua. Anak membutuhkan beberapa batasan dalam menggunakan smartphone, dan salah satu cara untuk memasang pembatas tersebut adalah dengan menggunakan kontrol orang tua. Ini memungkinkan anak tidak mendownload sembarang aplikasi karena harus izin orangtua.
Aturan 7: Ciptakan zona larangan ponsel. Orangtua menetapkan waktu dan tempat dilarang menggunakan smartphone, misalnya satu atau setengah jam sebelum tidur, saat makan malam keluarga, saat berbincang serius, saat liburan, dan saat berkegiatan di luar rumah.
Aturan 8: Berikan anak Anda kebebasan di dunia nyata. Jika kita ingin mengurangi masa kecil yang dihabiskan dengan ponsel, kita harus mengembalikan anak-anak kita ke masa bermain dan kemandirian. Atau, dengan kata lain: singkirkan smartphone atau tablet dan buka pintu rumah.
Aturan 9: Waspadai laptop—dan konsol game, dan tablet, dan… Mengenai tablet: jangan membelikan tablet untuk anak. Jika suatu saat dibutuhkan, mereka bisa meminjam dari orangtua. Mengenai konsol game: jangan meletakkan konsol game atau komputer desktop di kamar tidur anak-anak; gunakan kontrol orang tua untuk memastikan mereka tidak bermain game setelah tidur dan tidak mengunduh game yang tidak diketahui orangtua; dan tetapkan batas waktu bermain game, terutama di malam hari saat anak-anak bersekolah esok hari. Mengenai laptop: gunakan kontrol orang tua untuk memblokir media sosial dan situs-situs yang tidak pantas sebelum orangtua memberikan laptop pribadi kepada anaknya.
Aturan 10: Advokasi larangan ponsel selama jam sekolah. Tidak ada ponsel selama di sekolah, dari bel masuk kelas sampai bel pulang sekolah. Hal ini dapat membuat siswa lebih fokus di ruang kelas, memungkinkan saling berinteraksi selama jam istirahat, mengurangi waktu yang digunakan bermain ponsel setiap hari, dan mengurangi kejadian bullying di sekolah akibat penggunaan media sosial.
