Beberapa Catatan mengenai Program Mengirim Siswa ke Barak Militer
Sejak awal Mei 2025 lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mulai menjalankan program program berupa mengirimkan siswa-siswa yang dinilai bermasalah ke barak militer. Siswa-siswa mendapat pendidikan selama dua minggu dengan pengajar dari TNI AD. Terjadi pro-kontra terhadap kebijakan ini. Tulisan ini mengurai apa yang bisa kita pelajari dari program tersebut yang merupakan versi ringkas dari tulisan yang terbit di Buletin KPIN berjudul Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Program ‘Yang Buruk Masuk Barak’. Berikut ini beberapa catatannya.
1. Pendidikan selama ini mengabaikan rasa dan perilaku
Program tersebut membunyikan sirine bahwa sistem pendidikan nasional yang dijalani saat ini belum memberikan hasil sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan karakter (pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Proses pendidikan di sekolah-sekolah kita mungkin belum mencapai sana. Untuk sekedar bukti anekdotal, anak saya yang duduk di bangku kelas 5 SD mengeluh karena mata pelajaran Pendidikan Pancasila materinya diuang-ulang terus sampai ia merasa bosan. Sebuah kajian kualitatif mengenai implementasi pendidikan moral yang melibatkan guru-guru Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah di Yogyakarta menemukan bahwa pendidikan moral telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah mereka namun terbatas pada dimensi pengetahuan, tidak diinternalisasi dalam perilaku moral siswa sehari-hari.
“…agar siswa dapat belajar karakter, siswa tidak hanya perlu mengetahui karakter tersebut (moral knowing), tapi juga harus merasakan (moral feeling) dan melakukan (moral action).”
Dalam taksonomi kognitif, pengetahuan atau bisa juga disebut pemahaman, merupakan jenis berpikir tingkat dasar. Padahal, untuk membentuk karakter, siswa tidak cukup diajak berpikir, apalagi kecakapan berpikir tingkat dasar. Dalam konsep pendidikan karakter, suatu karakter baik harus dipahami dalam tiga aspek, yakni kognitif, afektif dan perilaku. Menurut pakar pendidikan karakter Thomas Lickona, agar siswa dapat belajar karakter, siswa tidak hanya perlu mengetahui karakter tersebut (moral knowing), tapi juga harus merasakan (moral feeling) dan melakukan (moral action). Untuk itu, mendidik karakter yang melibatkan perasaan dan tindakan, bukan hanya pemahaman, perlu dihadirkan di ruang kelas-ruang kelas sekolah kita.
2. Pendidikan harus dilihat sebagai sistem
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia disebut dengan sistem pendidikan nasional, namun program ini justru tidak melihat penyelenggaraan pendidikan sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan pendidikan melibatkan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait dan bersatu padu untuk mencapai tujuan pendidikan. Namun, alih-alih penyelenggara pemerintahan tergerak untuk berpikir sistemik melalui penyelenggaraan pendidikan yang tersistem, yang sekarang terjadi justru penyelenggara pemerintahan berpikir linear, kalau tidak disebut acak atau sporadis. Untuk mengentaskan keluarga miskin, Kementerian Sosial mengurus sekolah khusus untuk siswa miskin. Untuk menyiapkan siswa agar dapat masuk perguruan tinggi unggul, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi mengurus sekolah menengah atas. Kini, atas dicanangkannya program ini, TNI menjalani peran sebagai pendidik yang seharusnya diperankan para guru di sekolah. Terkait kurikulum misalnya, jika siswa meninggalkan sekolah untuk belajar di barak dalam periode waktu yang tidak sebentar, apa berarti TNI punya kurikulum sendiri dan boleh mengabaikan kurikulum pendidikan yang selama ini diikuti oleh para siswa di sekolah?
3. Membentuk karakter siswa melibatkan banyak pihak
Program ini mempertanyakan secara mendasar siapa yang lebih berperan besar bagi tumbuhnya anak yang berkarakter. Pandangan Bapak Gubernur, yang dikabarkan oleh sejumlah media, bahwa orangtua tidak dapat menyelesaikan permasalahan remaja menggaungkan kembali pandangan kontroversial yang dikemukakan oleh ilmuwan psikologi Amerika Serikat, Judith Rich Harris, bahwa orangtua berperan kecil dalam perkembangan anak. Menurut Harris, peran pengasuhan orang tua bagi perkembangan anak hanyalah asumsi belaka. Orang tua tidak memiliki pengaruh jangka panjang bagi perkembangan kepribadian anak, katanya. Dengan pandangan yang lebih moderat, penulis sejumlah buku sains Matt Ridley memandang peran orangtua masih penting, “menjadi orangtua yang baik itu tetap penting”. Menurut Ridley, pengasuhan orangtua itu seperti vitamin C: asalkan cukup, agak sedikit atau agak banyak tidak memberikan efek jangka panjang yang kasat mata.
Lantas, jika bukan orangtua, siapa yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak? Harris menjawab teman sebaya (peer group). Dengan menyebut teorinya sebagai teori sosialisasi kelompok (group socialization theory), Harris berpandangan bahwa karakter anak berkembang dan berubah oleh pengalaman yang dimiliki saat mereka tumbuh, antara lain bersama teman sebaya. Dengan demikian, membangun anak berkarakter bukan hanya urusan orangtua mereka, bukan juga hanya urusan pendidik di sekolah, namun urusan yang lebih besar terkait tersedianya lingkungan sosial yang memungkinkan mereka mengidentifikasi dirinya dengan karakter-karakter tertentu. Maka, agar anak dapat tumbuh dengan karakter yang baik dengan tersedianya teman sebaya atau kelompok referensi yang sehat, polisi misalnya, dapat berperan menjaga agar lingkungan masyarakat tertib dari pelanggar hukum, dan militer berperan agar negara ini aman untuk ditinggali.
“…pengasuhan orangtua itu seperti vitamin C: asalkan cukup, agak sedikit atau agak banyak tidak memberikan efek jangka panjang yang kasat mata.”
4. Intervensi harus komprehensif, tidak hanya dengan pendekatan disipliner
Program ini menjadi pelecut bagi pihak-pihak yang concern terhadap pendidikan, akademisi di perguruan tinggi, dan masyarakat pada umumnya, untuk mengambil peran dalam membantu mengatasi masalah remaja yang dinilai berperangai buruk oleh Bapak Gubernur. Peran yang diambil antara lain dengan melakukan kegiatan intervensi sosial yang dapat membantu mengatasi masalah remaja. Militer kembali ke barak itu untuk mengurus pertahanan negara, bukan mengurus masalah remaja yang mestinya dilakukan oleh sipil. Peran militer dalam mengatasi masalah ini dikhawatirkan kurang menyediakan intervensi yang efektif. Dalam pikiran Bapak Gubernur saat ini, akar masalah remaja adalah kedisiplinan semata sehingga perlu diperbaiki dengan gaya militer. Padahal, melibatkan sejumlah pihak yang kompeten mengatasi masalah remaja membuat pendekatan intervensi yang dilakukan jadi lebih komprehensif. Referensi dalam bidang psikologi moral misalnya, meyediakan analisis mengenai sejumlah penyebab masalah remaja, yakni perkembangan moral yang tertunda; cara berpikir yang mementingkan diri sendiri, dan defisit keterampilan sosial. Kegiatan intervensi yang dilakukan mestinya menyasar pada tiga penyebab tersebut.