portrait of kids raising indonesian flag in sunset sky

Teori Pondasi Moral

Perhatikan tiga kasus berikut ini:

  1. Seorang wanita muda yang sudah menikah pergi menonton film sendirian tanpa memberi tahu suaminya. Ketika ia pulang, suaminya berkata, “Jika kamu melakukannya lagi, saya akan memukulmu sampai babak belur.” Ia melakukannya lagi; suaminya memukulinya sampai babak belur.
  2. Dalam sebuah keluarga, seorang putra berusia dua puluh lima tahun memanggil ayahnya dengan nama depannya.
  3. Saat berjalan, seorang pria melihat seekor anjing tidur di jalan. Ia menghampiri anjing itu dan menendangnya.

Anda diminta untuk menilai kasus di atas, apakah suami pada kasus 1, putra pada kasus 2, dan pria pada kasus 3, melakukan tindakan bermoral?

Pada kasus 1 mungkin Anda menilai suami tidak bermoral karena menimbulkan bahaya bagi istri. Namun orang India menilai tindakan suami tersebut dibolehkan. Pada kasus 2, mungkin Anda akan menilai anak yang memanggil ayahnya dengan menyebut nama itu tidak bermoral. Namun orang Amerika Serikat menilai hal tersebut tidak melanggar moral. Pada kasus 3, penilaian Anda mungkin sama dengan orang India dan Amerika Serikat, bahwa tindakan menendang anjing yang sedang tertidur pulas itu tidak bermoral.

Adanya menilaian moral yang berbeda pada masyarakat yang berbeda menarik minat ilmuwan psikologi sosial Jonathan Haidt dan koleganya dalam mengkaji moralitas. Mereka mengkaji psikologi moral yang dikenal dengan teori pondasi moral (moral foundation theory). Pandangan Haidt tentang teori pondasi moral disajikan secara komprehensif dalam bukunya berjudul The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion.

Menurut Haidt domain moral bervariasi menurut budaya. Domain moral sangat sempit dalam budaya Barat, terpelajar, dan individualistis. Dalam budaya Barat, moral hanya berada pada domain etika yang bersifat otonom, yakni bahwa perilaku tertentu, apakah bermoral atau tidak, dinilai berdasarkan apakah perilaku tersebut membahayakan atau tidak dan apakah perilaku tersebut adil atau tidak. Memanggil nama ayah dengan nama depan, bagi orang Barat, itu tidak terkait moral karena bukan tindakan berbahaya juga bukan tindakan yang melanggar keadilan.

Sementara, budaya yang berorientasi sosial (sosiosentris), seperti banyak ditemui pada masyarakat non-Barat, memperluas domain moral yang dapat mengarahkan dan mengatur lebih banyak aspek kehidupan. Dalam masyarakat sosiosentris, misalnya India, suatu perilaku dinilai bermoral atau tidak berdasarkan penilaian apakah perilaku tersebut sejalan dengan norma masyarakat (komunalitas) dan apakah perilaku tersebut sejalan dengan norma agama atau ketuhanan. Dalam masyarakat India yang menghargai hirarki dan otoritas, istri harus hormat pada suami dan apabila itu dilanggar boleh saja suami melakukan tindakan yang menunjukkan otoritasnya.

Menurut Haidt moralitas dapat bersifat bawaan (sebagai serangkaian intuisi yang berevolusi) dan dipelajari (ketika anak-anak belajar menerapkan intuisi tersebut dalam budaya tertentu). Jadi menurut Haidt, kita dilahirkan untuk menjadi orang yang berbudi, tetapi kita harus mempelajari seperti apa tepatnya menjadi orang yang berbudi. Jadi, moralitas tidak dapat sepenuhnya dibangun sendiri oleh anak-anak berdasarkan pemahaman mereka yang semakin berkembang tentang bahaya dan ketidakadilan. Pembelajaran atau bimbingan budaya memainkan peran yang lebih besar daripada perkembangan nalar atau rasionalis mereka.

Berdasarkan kajiannya, Haidt membagi moralitas dalam lima domain berikut ini. Penjelasan Haidt lebih detail terkait hal ini ada dalam Bab 7 buku The Righteous Mind.

  1. Pondasi Peduli/Membahayakan. Pondasi ini berevolusi sebagai respons terhadap tantangan adaptif dalam merawat anak-anak yang rentan. Landasan ini membuat kita peka terhadap tanda-tanda penderitaan dan kebutuhan; landasan ini membuat kita membenci kekejaman dan ingin merawat mereka yang menderita.
  2. Pondasi Keadilan/Kecurangan. Pondasi ini berevolusi sebagai respons terhadap tantangan adaptif untuk menuai hasil kerja sama tanpa dieksploitasi. Pondasi ini membuat kita peka terhadap indikasi bahwa orang lain kemungkinan besar merupakan mitra yang baik (atau buruk) untuk kolaborasi dan altruisme timbal balik. Pondasi ini membuat kita ingin menjauhi atau menghukum para pelaku kecurangan.
  3. Pondasi Kesetiaan/Pengkhianatan. Pondasi ini berevolusi sebagai respons terhadap tantangan adaptif untuk membentuk dan memelihara koalisi. Pondasi ini membuat kita peka terhadap tanda-tanda bahwa orang lain merupakan (atau bukan) pemain tim. Fondasi ini membuat kita memercayai dan memberi penghargaan kepada orang-orang tersebut, dan membuat kita ingin menyakiti, mengucilkan, atau bahkan membunuh mereka yang mengkhianati kita atau kelompok kita.
  4. Pondasi Otoritas/Subversi. Pondasi ini berevolusi sebagai respons terhadap tantangan adaptif untuk menjalin hubungan yang akan menguntungkan kita dalam hierarki sosial. Pondasi ini membuat kita peka terhadap tanda-tanda pangkat atau status, dan terhadap tanda-tanda bahwa orang lain berperilaku baik (atau tidak), mengingat posisi mereka.
  5. Pondasi Kesucian/Degradasi. Pondasi ini awalnya berkembang sebagai respons terhadap tantangan adaptif dari dilema omnivora, dan kemudian terhadap tantangan yang lebih luas, yaitu hidup di dunia yang penuh patogen dan parasit. Pondasi ini mencakup sistem kekebalan perilaku, yang dapat membuat kita waspada terhadap beragam objek simbolis dan ancaman. Pondasi ini memungkinkan orang untuk menginvestasikan objek-objek dengan nilai-nilai irasional dan ekstrem—baik positif maupun negatif—yang penting untuk mengikat kelompok-kelompok.

Untuk menguji apakah kelima pondasi moral itu ada pada Anda, bacalah kasus yang dicontohkan Haidt berikut ini dan pertimbangkan apakah tindakan tersebut Anda nilai bermoral atau tidak. Kalau Anda menilai perilaku tersebut tidak bermoral, berarti Anda punya moralitas pada domain tersebut.

  1. Pondasi Peduli/Membahayakan: Menusukkan jarum suntik steril ke lengan anak yang tidak Anda kenal.
  2. Pondasi Keadilan/Kecurangan: Menerima TV layar plasma yang diberikan teman Anda. Anda tahu bahwa teman Anda membeli TV tersebut setahun yang lalu dari seorang pencuri yang mencurinya dari keluarga kaya.
  3. Pondasi Kesetiaan/Pengkhianatan: Mengatakan sesuatu yang kritis tentang negara Anda (yang Anda yakini benar) saat menelepon, secara anonim, ke acara bincang-bincang radio di negara asing.
  4. Pondasi Otoritas/Subversi: Menampar wajah ayah Anda (dengan izinnya) sebagai bagian dari sandiwara komedi.
  5. Pondasi Kesucian/Degradasi: Menghadiri pertunjukan drama pendek di mana para aktornya berakting seperti binatang selama 30 menit, termasuk merangkak, tak berbusana, dan menggerutu seperti simpanse.

Jadi, dapat dipahami mengapa dalam masyarakat kita sendiri saja, pandangan tentang isu tertentu bisa berbeda-beda. Hal ini karena masing-masing kita punya pondasi moral tertentu yang berbeda-beda. Terhadap isu LGBT misalnya, orang-orang yang mengedepankan pondasi moral otonom (pondasi Kepedulian dan Keadilan) akan mendukung LGBT karena itu hak asasi yang harus dilindungi. Sementara, orang-orang yang mengedepankan pondasi moral Kesucian akan menolak LGBT karena itu tindakan tidak beradab dan melanggar nilai-nilai ketuhanan.

Informasi lebih luas mengenai teori pondasi moral, hasil temuan penelitian, dan bagaimana mengukur teori pondasi moral dapat dilihat pada website Moral Foundations.

Similar Posts